Minggu, 24 Januari 2016

Movie : The 33




Dan akhirnya gue memutuskan untuk kembali menulis. Mungkin gue butuh untuk menulis, bukan gue akhir-akhir ini gak pernah lagi nulis. Gue nulis kok, nulis terus sampe rasanya mau mati karena tiap hari nulis. Sayangnya apa yang gue tulis bukan sesuatu yang menyenangkan, tapi harus tetap dikerjakan karena ini adalah bagian dari kewajiban.


Yah, akhir-akhir ini yang gue tulis adalah laporan magang dan bab-bab awal skripsi. Akhir-akhir ini juga gue baca mulu, bukan baca novel kayak biasa tapi baca jurnal, thesis orang, artikel, dan lain-lain. Dan itu melelahkan. Ternyata mambaca dan menulis yang sangat gue sukai selama ini menjadi tidak menyenangkan jika dihubungkan dengan urusan akademis. Belajar itu berat. Baiklah...


Dan rasanya gue butuh menulis sesuatu yang gila lagi seperti biasanya demi mempertahankan kewarasan otak gue yang semakin hari semakin gila. Kelelahan fisik dan psikis yang gue rasa akhir-akhir ini butuh obat dengan segera, mungkin menulis lagi bisa ngebantu gue untuk memperbaiki keadaan diri dari sisi psikologis. Dan akhirnya gue menulis lagi disini...






Tiga malam yang lalu, gue berniat nekat nonton sendirian setelah hampir satu bulan gak masuk gedung bioskop. Mau refreshing judulnya, pingin me time yang ujung-ujungnya malah ditemenin sama Kak Dinda. *Luv, Kak Dinda*


Dan film yang kami tonton adalah The 33, tau dong ya? Iya, film yang based on true story ini sebenernya bukan genre gue yang kebiasaan ngayal babu nonton drama korea. Tapi gue yakin banget film ini bagus meski gue belum pernah nonton trailer-nya. Ya tapi gue baca sinopsisnya sih haha


Dan this movie enlighten me. Sedikit-banyak lah....


Setelah telat masuk teater hampir setengah jam, gue rada sedih karena takut gak dapet feel-nya. Tapi nyatanya gue dateng disaat yang tepat, begitu masuk scene dimana para penambang baru tertimbun ditampilkan. Ada yang entah gimana ceritanya jatuh dan berdarah, dan kebanyakan yang lain cuma menatap sambil bingung dan ketakutan.


Gue gak bisa ngebayangin hidup kayak mereka, dua bulan lebih tertimbun dibawah tanah, cahaya minim, oksigen wallahualam, suhu ruang yang lebih dari normal, makanan terbatas dan bisa dibilang gak layak, gitu juga dengan sumber air minum. Yang bikin gue mewek adalah kenyataan bahwa mereka gak bisa ngasih tau orang diluar sana, keluarga, sanak saudara, rekan, dan kolega, apa mereka hidup atau udah gak ada. Dan orang-orang yang ditinggalkan menunggu diatas tanah itu juga gak tau apa mereka berharap pada sesuatu yang worth it atau harapan mereka adalah mustahil.


Bertanya tanpa menemukan jawaban adalah hal yang sangat menjengkelkan. Bertanya dengan banyak orang, melihat dengan mata dan kepala sendiri, tapi gak bisa menarik kesimpulan apa-apa yang pantas untuk dijadikan pijakan dari segala pertanyaan. Jengkel. Sedih. Gak karuan.


Dan seperti biasanya, gue sering membandingkan kejadian dilayar kaca dengan kejadian di kehidupan nyata yang gue alami. Yang menjadi poin gue disini adalah kenyataan bahwa keadaan gue saat ini amat sangat beruntung. Terpisah jarak dari orang-orang yang gue sayang, orang tua, saudara, dan teman-teman tercinta, tapi gue tau seperti apa keadaan mereka. Meski ada celah dimana mereka bisa berbohong dan bilang baik-baik aja, tapi gue masih bisa berkomunikasi. Harapan yang gue gantung gak ngawang-ngawang gak jelas gitu aja.


Kalo mereka yang dibawah tanah itu bisa bertahan dengan segala ketidakmungkinan yang menghimpit demi keluarga, saudara, dan teman-temannya, kenapa gue yang hidup nyaman dengan berbagai fasilitas dan kemudahan ini masih suka ngeluh seenaknya? Kenapa gue sewaktu dan dua waktu masih suka males berusaha? Kenapa gue seperti gak bersyukur dan selalu balik-balik lagi menyalahkan takdir yang menempatkan gue dikeadaan sedemikian rupa.


Gue disini, ngekos di rumah yang layak ditinggali, ya meski sering ditemukan tumpukan sampah disana-sini sih, tapi itu masih bisa diterima. Gue tidur di kasur yang masih masuk dalam kategori empuk. Gue makan masih enak, meski ada banyak banget pantangan demi tuntutan masa depan yang lebih sehat. Gue kangen ibu dan bapak, gue bisa telpon. Pingin liat muka, gue bisa vidcall. Kurangnya apa?


Capek karena tumpukan baju kotor? Jengah karena tumpukan deadline tugas, laporan, dan skripsi? Merasa gak adil karena mesti beresin rumah dan kamar disaat capek-capeknya badan dan pikiran? Gak ada yang mijitin badan pas lagi capek? Gak ada yang nyiapin sarapan pas lagi butuh pergi pagi-pagi?


Oh God, Nofita!


I’m feeling so grateful diizinkan nonton film ini. Every scenes of live punya arti yang bisa jadi berbeda bagi tiap-tiap orang. And for The 33, thank you! Now I know what spaces mean.


Plus, the Minister of Engineer is totally hot. With his soft and kind of heart, I fell down :3


 


Luv, Nofita Chandra.