Selasa, 26 Februari 2013

Sparkling Taylor #11

Well, tidak mudah berpikir diantara setumpuk tugas yang harus segera diselesaikan. Dan bayang-bayang nilai 'C' hasil UAS semester kemarin adalah momok yang paling menakutkan. Tapi apa salahnya menarik nafas lebih dalam dan berpaling sejenak dari segala macam ketidakenakan menjadi mahasiswa.

Mari berimajinasi....

- - -


CHAPTER 10

Pertengkaran itu berakhir fatal, sangat fatal. Aku meninggalkan Joe begitu saja dan Joe pun tidak terlihat berniat menghalangiku pergi atau mungkin mencegahku pergi. Mungkin otaknya bekerja sangat lamban, hingga ketika ia sadar aku sudah tidak dalam jangkauannya lagi untuk dikejar. Sepanjang hari itu adalah buruk bagiku, hari ini akan menjadi salah satu hari terburuk yang pernah aku alami. Tidak perduli apa, hari ini aku merasa sangat kesal dan marah pada Joe.

Pertama karena Joe menelantarkanku disabtu malam kemarin. Kedua karena Joe ternyata menganggap enteng masalah ini. Dan yang terakhir, karena Joe tampak seperti tidak berniat menghentikanku ketika aku hendak pergi bahkan sampai sekarang pun ia tidak menemui atau menghubungiku untuk meminta maaf. Mungkin benar, otak Joe bekerja sangat amat lambat! Apa karena dia terlalu banyak bermain musik bersama dua saudaranya hingga ia menjadi begitu bodoh begini?!!

Ketika hendak pulang aku tanpa sengaja berpapasan dengan Nick.

“Taylor?” ucapnya berusaha mengenaliku.

Aku mendongak menatap wajahnya lalu tersenyum malu-malu. “Hai.” Sapaku singkat padanya.

“Wow! Kau tampak sangat berbeda!”

“Ini karena kakakmu yang amat sangat tidak peka itu. Bahkan kau pun bisa melihat usahaku sementara dia tidak.” Aku tersenyum kecut. “Yeah.” Jawabku akhirnya.

“Kau tidak bersama Joe? Aku datang ke sini untuk mencarinya, sebenarnya aku tidak ada kerjaan lain selain mencarinya....”

“Untuk apa mencari Joe?” tanyaku ketus. “Ehm, aku tidak bersamanya. Tadi pagi aku meninggalkannya di taman dekat kantin.”

“Meninggalkannya? Ini terdengar seperti kalian punya masalah?”

“Oh, ayolah, Nick! Mengapa kau sangat peka terhadap hal semacam ini?” aku tersenyum kecil sambil menyibak anak rambutku yang menutupi sebagian wajah. “Sepertinya begitu. Aku yakin dia masih bersama teman-temannya, entah dimana pun itu. Kalau kau bisa menemukan salah satu dari teman-temannya, maka kau akan menemukannya.”

“Terima kasih. Dan maaf soal Joe.”

“Ya.” Jawabku sambil berlalu dari hadapannya.

“Kenapa Nick begitu baik dan manis? Dia juga sangat peka terhadap perasaanku bahkan mungkin dia peka terhadap segala yang ada di sekelilingnya. Tidak heran, itu sebabnya lagu-lagu yang ia ciptakan selalu sangat menyentuh dan indah.” Pikirku sambil terus berjalan. “Bagaimana bisa kakak-adik kandung memiliki dua sifat yang begitu jauh berbeda? Ah, yang benar saja, anak kembar identik pun pasti tidak akan sama seratus persen dalam hal isi kepala.” Lanjutku lagi masih dalam hati.

Aku melompati genangan air dihadapanku sambil terus memikirkan soal Joe dan Nick. Ini sedikit lebih menarik dibanding terus hanyut dalam emosi dan sakit hatiku terhadap Joe hari ini. Lebih baik memikirkan ini, lebih membuatku rileks dan bahagia dibanding dengan memikirkan masalahku dengan Joe yang sepertinya belum akan usai dalam waktu dekat ini. Tapi tiba-tiba saja aku kehilangan keseimbanganku dan nyaris terjatuh.

“Huh!” aku menghembuskan nafas panjang, lega karena tidak terjatuh. “Nasib baik berpihak padaku.” Lanjutku lagi sambil terus berjalan.

            Aku berkutat dengan buku bersampul perak itu, mulai sibuk mencari nada yang tepat lewat petikan dawai gitar yang aku dekap. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada musik, musik adalah segalanya untukku. Dari musik aku belajar cara menyatakan cintaku, belajar cara menunjukkan kekecewaan dan sakit hatiku. Dan dari musik aku belajar untuk menemukan diriku sendiri.

            Rambut ikalku lenyap, aku lebih sering tampil dengan rambut lurus sekarang. Dress selutut yang cantik dengan flat shoes yang biasa menemani hari-hariku juga sudah berganti dengan setelah kemeja berkerah dengan rok mini dengan warna cerah juga ditambhan dengan sepatu bersol tinggi dan tebal yang hits. Tapi ketika aku kembali pada musik, aku menjadi taylor yang sepenuhnya. Aku bisa merasakan betapa hidup terasa mudah ketika yang aku miliki hanya udara dan rangkaian nada.

  Ada banyak orang yang ternyata selama ini memperhatikanku, tadi Nick dan sekarang Abby. Entah harus dengan cara apa aku berterimakasih pada Abby yang sangat mengerti aku ini.

“Mungkin sebaiknya kau pergi ke kamar dan mulai bermain dengan musikmu, Tay. Itu akan membuatmu merasa lebih baik.”

“Aku ingin berdiri di atas panggung besar, Abby. Panggungku sendiri. Saat aku berada di sana, tidak akan ada yang meremehkan aku, termasuk Joe.”

“Mungkin sebaiknya kau mulai bersiap dari sekarang. Pentas pertunjukkan kampus kita akan di gelar sebelum musim panas berakhir nanti.”

Aku tersenyum.

“Joe dan saudaranya akan tampil di sana. Kau harus jadi bagian dari acara itu juga.”

Benar, aku juga harus tampil di sana. Sampai kapan Abby dan Meredith menjadi pendengar setia lagu-laguku, aku bahkan sudah memiliki laguku sendiri. Oke, baiklah. ini saatnya tampil beda, Taylor. This is show time.

 

Rabu, 20 Februari 2013

Dear You #2

Dear You

Terlalu manis

"teh anget ini manis. tapi gak sekedar manis juga bisa ngangetin badan. lo manis sih, tapi kok malah bikin hati gue beku?" "hujan badai di layo membawa setitik pencerahan, dan teh anget manis ini menjadi media pencerahan selain suara angin berisik di luar. oke, mari memulai...."

         Apanya yang terlalu manis? Senyum lo? Aduuuuh, mungkin egak sih yaaa. Apa kabar senyum Robert Pattinson atau Taylor Lautner coba kalo senyum lo aja udah dianggep manis? Kalo senyum lo aja dibilang terlalu manis, berarti senyum mereka adalah super duper extra XXL too much and many many sweet. How? Jadi apa dong yang terlalu manis itu kalo bukan senyum lo?

Our memories.

Ya, itu terlalu manis. Meski senyum Robert Pattinson atau Taylor Lautner lebay manisnya seperti yang gue bilang di atas, tapi mereka berdua bukan bagian dari kenangan gue. Lo, lo yang bagian dari kenangan itu. Kenangan gue sama lo gak semuanya manis sih, ada pahit, asem dan sepetnya juga. Tapi kenangan yang terbingkai dengan title ‘sweet memories with you’ itu lho yang bikin gak tahan. Gak bisa dilupain barang sedetik, apa lagi sejam atau sehari, atau seminggu, atau sebulan atau entahlah seberapa lamanya. Mau gimana dong? Emang gue bisa ngontrolnya? Mungkin ini salah satu alasan kenapa gue gak bisa move on.

Lo salah karena udah ngebuat segitu banyaknya kenangan manis yang gak bisa gue lupain atau tepatnya belum bisa gue lupain. Lo salah karena lo dengan terlalu baiknya ngebagi semua kenangan itu sama gue. Lo salah karena lo ngebiarin gue untuk jatuh dan kemudian berhenti di sana, di semua kenangan bareng lo. Dan lo salah karena lo pergi sementara gue masih berharap lo di sini.

Gue gak pingin semua kenangan itu balik jadi nyata lagi karena gue sadar betul kalo emang gak ada sedetik pun waktu yang bisa kembali. Tapi gue cuma pingin, selayaknya kenangan itu semua bisa gue kenang bukan gue harep-harepin balik. Antara bego sama egoisnya gue ini emang beda tipis. Gue tau itu gak mungkin balik tapi gue masih ngarep. Aneh. Tapi cinta emang selalu begitu, selalu aneh dan gak bisa gue mengerti. Berkali-kali bahagia dan terluka karena cinta tapi gue masih buta banget. Ibarat kata cinta masuk dalam mata kuliah, gue yakin bakal susah dapet A di matkul cinta ketimbang matkul fisika-yaiya secara matkul fisika bisa nyontek temen yang pinter inisial ‘A’.

Perkenalan kita, jadian kita, jalan barengnya kita, berantemnya kita sampe putusnya kita semuanya jadi kenangan. Ada beberapa bagian yang gak masuk dalam kategori sweet memories, tapi dengan sisi egois dalam diri gue gue, gue berani bilang “mending gue balik ke saat dimana gue sama lo berantem atau nyaris putus, karena saat itu semuanya nyata. Lo nyata. Lo sama gue. Ketimbang sekarang, karena sekarang kita bukan kita tapi lo dan gue.”

Dan itu gila. Gila banget gue bisa mikir sesederhana itu. Gue pingin percaya kalo apa yang terjadi pasti ada hikmahnya, gak mungkin buruk buat gue karena semua pasti ada positifnya. Tapi coba dong lihat gue sekarang, bergalau ria tiap malem gini apa positifnya idup gue? Setiap hari kerjaannya stalking timeline lo, begitu pindah ke word dan mulai ngetik, tulisan gue terinspirasi lagi gara-gara lo. Gak heran semua yang gue tulis, entah twit, status fesbuk atau bbm sampe postingan blog semua isinya 99,99% adalah penggalauan. Gimana gak, kan inspirasinya lo?

Lagi-lagi gue nyalahin lo.

Maafin gue ya, karena gue terlalu egois buat bilang ini semua salah lo. Maafin gue karena gue juga masih ngarepin lo. Maafin gue karena gue gak bisa dewasa dan nerima keadaan sekarang. Aduuuh, ini kenapa jadi maaf-maafan?

Gue kangen senyum-senyum sendiri waktu gue nerima sms lo. Gue kangen waktu gue dengan sengaja lewat di kelas lo pas jam pelajaran cuma buat cari perhatian lo. Gue kangen keselnya gue waktu tau lo bolos. Gue kangen uring-uringannya gue waktu berantem sama lo. Aaagggh, semuanya terlalu manis buat dikenang tapi juga terlalu pahit buat dilupain. Gue pingin bisa mengenang semua yang manis-manis itu dengan lapang dada dan tanpa ada penggalauan. Tapi itu susah.

"Terlalu manis untuk dilupakan, kenangan yang indah bersamamu." (Slank - Terlalu Manis)

"And I keep up with our old friends just to ask them how you are." (Taylor Swift - Last Kiss)