Sparkling Taylor #11
Well, tidak mudah berpikir diantara setumpuk tugas yang harus segera diselesaikan. Dan bayang-bayang nilai 'C' hasil UAS semester kemarin adalah momok yang paling menakutkan. Tapi apa salahnya menarik nafas lebih dalam dan berpaling sejenak dari segala macam ketidakenakan menjadi mahasiswa.
Mari berimajinasi....
- - -
CHAPTER 10
Pertengkaran itu berakhir
fatal, sangat fatal. Aku meninggalkan Joe begitu saja dan Joe pun tidak
terlihat berniat menghalangiku pergi atau mungkin mencegahku pergi. Mungkin
otaknya bekerja sangat lamban, hingga ketika ia sadar aku sudah tidak dalam
jangkauannya lagi untuk dikejar. Sepanjang hari itu adalah buruk bagiku, hari
ini akan menjadi salah satu hari terburuk yang pernah aku alami. Tidak perduli
apa, hari ini aku merasa sangat kesal dan marah pada Joe.
Pertama karena Joe menelantarkanku
disabtu malam kemarin. Kedua karena Joe ternyata menganggap enteng masalah ini.
Dan yang terakhir, karena Joe tampak seperti tidak berniat menghentikanku
ketika aku hendak pergi bahkan sampai sekarang pun ia tidak menemui atau
menghubungiku untuk meminta maaf. Mungkin benar, otak Joe bekerja sangat amat
lambat! Apa karena dia terlalu banyak bermain musik bersama dua saudaranya
hingga ia menjadi begitu bodoh begini?!!
Ketika hendak pulang aku tanpa
sengaja berpapasan dengan Nick.
“Taylor?” ucapnya berusaha
mengenaliku.
Aku mendongak menatap wajahnya
lalu tersenyum malu-malu. “Hai.” Sapaku singkat padanya.
“Wow! Kau tampak sangat
berbeda!”
“Ini karena kakakmu yang amat sangat tidak peka itu. Bahkan kau pun bisa
melihat usahaku sementara dia tidak.” Aku tersenyum kecut. “Yeah.” Jawabku akhirnya.
“Kau tidak bersama Joe? Aku
datang ke sini untuk mencarinya, sebenarnya aku tidak ada kerjaan lain selain
mencarinya....”
“Untuk apa mencari Joe?”
tanyaku ketus. “Ehm, aku tidak bersamanya. Tadi pagi aku meninggalkannya di
taman dekat kantin.”
“Meninggalkannya? Ini terdengar
seperti kalian punya masalah?”
“Oh, ayolah, Nick! Mengapa kau sangat peka terhadap hal semacam ini?” aku tersenyum kecil sambil
menyibak anak rambutku yang menutupi sebagian wajah. “Sepertinya begitu. Aku
yakin dia masih bersama teman-temannya, entah dimana pun itu. Kalau kau bisa
menemukan salah satu dari teman-temannya, maka kau akan menemukannya.”
“Terima kasih. Dan maaf soal
Joe.”
“Ya.” Jawabku sambil berlalu
dari hadapannya.
“Kenapa Nick begitu baik dan manis? Dia juga sangat peka terhadap
perasaanku bahkan mungkin dia peka terhadap segala yang ada di sekelilingnya.
Tidak heran, itu sebabnya lagu-lagu yang ia ciptakan selalu sangat menyentuh
dan indah.” Pikirku
sambil terus berjalan. “Bagaimana bisa
kakak-adik kandung memiliki dua sifat yang begitu jauh berbeda? Ah, yang benar
saja, anak kembar identik pun pasti tidak akan sama seratus persen dalam hal
isi kepala.” Lanjutku lagi masih dalam hati.
Aku melompati genangan air
dihadapanku sambil terus memikirkan soal Joe dan Nick. Ini sedikit lebih
menarik dibanding terus hanyut dalam emosi dan sakit hatiku terhadap Joe hari
ini. Lebih baik memikirkan ini, lebih membuatku rileks dan bahagia dibanding
dengan memikirkan masalahku dengan Joe yang sepertinya belum akan usai dalam
waktu dekat ini. Tapi tiba-tiba saja aku kehilangan keseimbanganku dan nyaris
terjatuh.
“Huh!” aku menghembuskan nafas
panjang, lega karena tidak terjatuh. “Nasib baik berpihak padaku.” Lanjutku
lagi sambil terus berjalan.
Aku
berkutat dengan buku bersampul perak itu, mulai sibuk mencari nada yang tepat
lewat petikan dawai gitar yang aku dekap. Tidak ada yang lebih menyenangkan
daripada musik, musik adalah segalanya untukku. Dari musik aku belajar cara
menyatakan cintaku, belajar cara menunjukkan kekecewaan dan sakit hatiku. Dan
dari musik aku belajar untuk menemukan diriku sendiri.
Rambut
ikalku lenyap, aku lebih sering tampil dengan rambut lurus sekarang. Dress
selutut yang cantik dengan flat shoes yang
biasa menemani hari-hariku juga sudah berganti dengan setelah kemeja berkerah
dengan rok mini dengan warna cerah juga ditambhan dengan sepatu bersol tinggi
dan tebal yang hits. Tapi ketika aku kembali pada musik, aku menjadi taylor
yang sepenuhnya. Aku bisa merasakan betapa hidup terasa mudah ketika yang aku
miliki hanya udara dan rangkaian nada.
Ada banyak orang yang ternyata selama ini
memperhatikanku, tadi Nick dan sekarang Abby. Entah harus dengan cara apa aku
berterimakasih pada Abby yang sangat mengerti aku ini.
“Mungkin sebaiknya kau pergi ke
kamar dan mulai bermain dengan musikmu, Tay. Itu akan membuatmu merasa lebih
baik.”
“Aku ingin berdiri di atas
panggung besar, Abby. Panggungku sendiri. Saat aku berada di sana, tidak akan
ada yang meremehkan aku, termasuk Joe.”
“Mungkin sebaiknya kau mulai
bersiap dari sekarang. Pentas pertunjukkan kampus kita akan di gelar sebelum
musim panas berakhir nanti.”
Aku tersenyum.
“Joe dan saudaranya akan tampil
di sana. Kau harus jadi bagian dari acara itu juga.”
Benar, aku juga harus tampil di
sana. Sampai kapan Abby dan Meredith menjadi pendengar setia lagu-laguku, aku
bahkan sudah memiliki laguku sendiri. Oke, baiklah. ini saatnya tampil beda,
Taylor. This is show time.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar