Movie : The 33
Dan akhirnya gue memutuskan untuk kembali menulis.
Mungkin gue butuh untuk menulis, bukan gue akhir-akhir ini gak pernah lagi
nulis. Gue nulis kok, nulis terus sampe rasanya mau mati karena tiap hari
nulis. Sayangnya apa yang gue tulis bukan sesuatu yang menyenangkan, tapi harus
tetap dikerjakan karena ini adalah bagian dari kewajiban.
Yah, akhir-akhir ini yang gue tulis adalah laporan
magang dan bab-bab awal skripsi. Akhir-akhir ini juga gue baca mulu, bukan baca
novel kayak biasa tapi baca jurnal, thesis orang, artikel, dan lain-lain. Dan
itu melelahkan. Ternyata mambaca dan menulis yang sangat gue sukai selama ini
menjadi tidak menyenangkan jika dihubungkan dengan urusan akademis. Belajar itu
berat. Baiklah...
Dan rasanya gue butuh menulis sesuatu yang gila lagi
seperti biasanya demi mempertahankan kewarasan otak gue yang semakin hari
semakin gila. Kelelahan fisik dan psikis yang gue rasa akhir-akhir ini butuh
obat dengan segera, mungkin menulis lagi bisa ngebantu gue untuk memperbaiki
keadaan diri dari sisi psikologis. Dan akhirnya gue menulis lagi disini...
Tiga malam yang lalu, gue berniat nekat nonton sendirian
setelah hampir satu bulan gak masuk gedung bioskop. Mau refreshing judulnya, pingin me
time yang ujung-ujungnya malah ditemenin sama Kak Dinda. *Luv, Kak Dinda*
Dan film yang kami tonton adalah The 33, tau dong
ya? Iya, film yang based on true story
ini sebenernya bukan genre gue yang
kebiasaan ngayal babu nonton drama korea. Tapi gue yakin banget film ini bagus
meski gue belum pernah nonton trailer-nya.
Ya tapi gue baca sinopsisnya sih haha
Dan this movie
enlighten me. Sedikit-banyak lah....
Setelah telat masuk teater hampir setengah jam, gue
rada sedih karena takut gak dapet feel-nya.
Tapi nyatanya gue dateng disaat yang tepat, begitu masuk scene dimana para penambang baru tertimbun ditampilkan. Ada yang
entah gimana ceritanya jatuh dan berdarah, dan kebanyakan yang lain cuma
menatap sambil bingung dan ketakutan.
Gue gak bisa ngebayangin hidup kayak mereka, dua
bulan lebih tertimbun dibawah tanah, cahaya minim, oksigen wallahualam, suhu ruang yang lebih dari normal, makanan terbatas
dan bisa dibilang gak layak, gitu juga dengan sumber air minum. Yang bikin gue
mewek adalah kenyataan bahwa mereka gak bisa ngasih tau orang diluar sana,
keluarga, sanak saudara, rekan, dan kolega, apa mereka hidup atau udah gak ada.
Dan orang-orang yang ditinggalkan menunggu diatas tanah itu juga gak tau apa
mereka berharap pada sesuatu yang worth
it atau harapan mereka adalah mustahil.
Bertanya tanpa menemukan jawaban adalah hal yang
sangat menjengkelkan. Bertanya dengan banyak orang, melihat dengan mata dan
kepala sendiri, tapi gak bisa menarik kesimpulan apa-apa yang pantas untuk
dijadikan pijakan dari segala pertanyaan. Jengkel. Sedih. Gak karuan.
Dan seperti biasanya, gue sering membandingkan
kejadian dilayar kaca dengan kejadian di kehidupan nyata yang gue alami. Yang
menjadi poin gue disini adalah kenyataan bahwa keadaan gue saat ini amat sangat
beruntung. Terpisah jarak dari orang-orang yang gue sayang, orang tua, saudara,
dan teman-teman tercinta, tapi gue tau seperti apa keadaan mereka. Meski ada
celah dimana mereka bisa berbohong dan bilang baik-baik aja, tapi gue masih
bisa berkomunikasi. Harapan yang gue gantung gak ngawang-ngawang gak jelas gitu
aja.
Kalo mereka yang dibawah tanah itu bisa bertahan
dengan segala ketidakmungkinan yang menghimpit demi keluarga, saudara, dan
teman-temannya, kenapa gue yang hidup nyaman dengan berbagai fasilitas dan
kemudahan ini masih suka ngeluh seenaknya? Kenapa gue sewaktu dan dua waktu
masih suka males berusaha? Kenapa gue seperti gak bersyukur dan selalu
balik-balik lagi menyalahkan takdir yang menempatkan gue dikeadaan sedemikian
rupa.
Gue disini, ngekos di rumah yang layak ditinggali,
ya meski sering ditemukan tumpukan sampah disana-sini sih, tapi itu masih bisa
diterima. Gue tidur di kasur yang masih masuk dalam kategori empuk. Gue makan
masih enak, meski ada banyak banget pantangan demi tuntutan masa depan yang
lebih sehat. Gue kangen ibu dan bapak, gue bisa telpon. Pingin liat muka, gue
bisa vidcall. Kurangnya apa?
Capek karena tumpukan baju kotor? Jengah karena
tumpukan deadline tugas, laporan, dan
skripsi? Merasa gak adil karena mesti beresin rumah dan kamar disaat
capek-capeknya badan dan pikiran? Gak ada yang mijitin badan pas lagi capek?
Gak ada yang nyiapin sarapan pas lagi butuh pergi pagi-pagi?
Oh God, Nofita!
I’m feeling so
grateful diizinkan nonton film
ini. Every scenes of live punya arti
yang bisa jadi berbeda bagi tiap-tiap orang. And for The 33, thank you! Now I know what spaces mean.
Plus, the
Minister of Engineer is totally hot. With his soft and kind of heart, I fell
down :3
Luv,
Nofita Chandra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar