Movie : The Finest Hour
Well,
sekarang gue lagi duduk berhadapan dengan orang yang menjadi sumber kesedihan
gue akhir-akhir ini. Orangnya gak tau gue lagi nulis, dia taunya gue ngerjain
revisi laporan magang haha.
Untuk
menyambut perpisahan dipelupuk mata, kemarin sore gue dan anak-anak kosan
merayakannya dengan cara nonton bareng. Rencananya dengan personil lengkap,
plus maha dan bella, but apadaya bella capek abis perpisahan di dinkes dan teta
sakit jadi gak kuat mau pergi.
Akhirnya
kita bertujuh, gue, Anggi, Fina, Intan, Maha, Aisyah (Adiknya Anggi yang lagi
liburan di bumi sriwijaya, gue belum bilang dia lagi nginep dikosan udah dua
mingguan ini), dan Kak Dinda. Tebaklah, dari enam nama yang gue sebut barusan,
siapa orangnya yang hendak pergi meninggalkan :”)
Awalnya
kita mau nonton The Boy, tapi nyatanya begitu sampe di XXI poster The Finest
Hour lebih menggoda jadi akhirnya kita memutuskan nonton itu aja. Rute dimulai
dari pesen tiket, buka puasa di Chatime, sholat maghrib, nyemil sosis yang
menurut gue mahal tapi emang aseli enak, baru deh masuk teater. Dan film
dimulai dengan iklan-iklan film coming
soon; London Love apa ya kalo gak salah judulnya, Talak Tiga, sampe filmnya
Leonardo DiCaprio yang gue lupa judulnya apa.
Dan akhirnya
film dimulai, jujur aja, The Finest Hour ini agak lamban intronya. Terus alur
cerita yang dibuat bergantian dari sudut pandang si Mr. Webber kemudian Sybert
agak bikin gregetnya kurang. Tapi, yah well,
adegan Mr. Webber dan tiga rekan lain nerobos ombak yang gak masuk akal itu
emang bikin deg-degan. Gue nahan jerit dengan cari ngeremes-remes jari Aisyah
yang kebetulan duduk sebelahan.
Dan,
wow! Gue suka sama kepercayaan diri Mr. Webber dan pacarnya, Miriam. Yang satu
pede menerjang ombak dan badai ditengah lautan luas, yang satu pede menyatakan
cinta bahkan ngajak merit pasangan. Well,
ini cewek mengingatkan gue dengan diri sendiri yang suka gak tahan mengikuti
apa yang disebut orang kebiasaan. Kayak, kebiasaan cewek menunggu dan
lain-lain. Meski gue gak pernah juga nembak cowok duluan, tapi kurang-lebih gue
sama lah untuk urusan take it or leave it
mindset yang dia punya.
Dan
film ini memberikan gue sebuah pelajaran bahwa yang namanya keyakinan itu gak
bisa dipersalahkan. Ketika lo yakin dengan diri lo sendiri, jangan dengerin
omongan orang, jangan perduli dengan pandangan dunia. Keep moving forward with that faith. Gak ada yang gak mungkin di
dunia ini, dan gak ada hasil yang mengkhianati usaha. Yah, meski kadang manusia
suka lupa kalo kadang hasil dari usaha itu gak cuma bisa dinikmati di dunia.
Thanks
nian lah, dengan orang-orang jenius yang berhasil bikin film inspiratif begini.
Yah, semua film sebenernya inspiratif sih, tergantung dari sudut pandang si
penonton. Tapi mungkin kalo film kayak ‘pocong jumpalitan’, atau ‘kuntilanak
mandi kembang’ dan lain-lain, gak perlu dibahas lah ya...
Intinya,
seneng banget lebih milih The Finest Hour kemarin ketimbang The Boy.
I take your faith, Mr. Webber! I believe I’ll
get over it very soon. It is not impossible to graduate on this June or August.
May Allah bless my way, Amiiinn.
Apakah filmnya asik?
BalasHapus3.8/5 Lis, intro-nya agak kepanjangan dan cerita dari dua sudut pandang bikin yg tadinya udah greget terus down lagi. Tapi endingnya okay kok :)
HapusSalam dari masa depan kak (2021)
BalasHapus