CHAPTER 4
“Tay....”
sapa seseorang sambil melambai padaku.
Aku
berjalan pelan-pelan menghampirinya sambil memerhatikan sekeliling. Tempat apa
ini asing untukku? Aku mengerutkan kening sambil berdiri
dengan canggung di samping Joe yang tampak sangat santai dan tentu saja selalu
menawan. Joe memakai kemeja putih dengan celana jins hitam dan sepatu kets
putih, senyumnya mengembang ketika melihat penampilanku dari ujung kepala
sampai ujung kaki.
“Benar
kan?!” ucapnya bersemangat. “Kau cantik kalau tampil seperti ini.”
“Benarkah?”
aku tersipu. “Terima kasih. Ehm, Joe, apa yang akan kita
lakukan di sini sekarang?”
“Apa saja yang ingin kau lakukan.” Janjinya
sepenuh hati. “Ngomong-ngomong, apa aku tidak mengganggu jadwalmu hari ini?”
Aku menggeleng buru-buru. “Tidak-tidak, tentu
saja tidak. Jadwalku setiap harinya hanya... belajar.”
“Benarkah? Pantas kau sangat pandai.”
“Trims.”
Aku dan Joe mengobrol santai untuk waktu yang
lumayan lama, rasanya mudah sekali berkomunikasi dengan Joe sekarang karena ia
tampak lebih membuka diri padaku. Joe lebih banyak bertanya soal aku dan
kegiatan serta semua hobiku, topik penting perbincangan malam ini antara aku
dan dia adalah aku. Aku, Taylor Alison Swift. Oh, yang benar saja? Masih sulit
rasanya menerima ini sebagai kenyataan. Saat dulu kami berpacaran pun, Joe
tidak pernah sebaik ini padaku. Maksudku bukan berarti dia jahat, hanya saja
dia terlalu... bersikap manis.
Terpikirkan olehku untuk bertanya soal
hubungan kami yang sudah usai di waktu yang lalu, aku ingin tahu apa
motivasinya kala itu. Tapi tiba-tiba aku teringat bahwa mungkin topik itu akan
menghancurkan detik-detik berikutnya dari hari ini. Jadi aku memilih untuk
bungkam. Aku tidak berniat untuk mengungkitnya, paling tidak untuk saat ini.
Jika semua ini berjalan baik, maka masih akan ada banyak kesempatan untuk kami
membicarakannya.
Jujur saja, aku akui hubungan kami dulu sangat
aneh. Bagaimana tidak, kami hanya berbicara di telepon dan jalan bersama di
akhir pekan, hanya dua akhir pekan karena hubungan itu tidak bertahan lebih
dari dua bulan. Selebihnya kami menghabiskan waktu di kampus, terlihat
membosankan duduk berdua bersama dan lebih banyak memilih untuk diam. Tapi Joe
tidak tahu bahwa setiap detik bersamanya dulu aku selalu merasa bersyukur dan
bahagia, walau terkadang kebersamaan kami tidak berarti apa-apa baginya.
“Aku juga suka musik, kau tahu kedua
saudaraku... mereka juga suka musik.”
“Oh, Nick dan Kevin.”
“Benar. Mereka sama seperti aku, tergila-gila
dengan musik. Dan itu sangat baik karena membuat hubungan kami makin erat.
Musik menyatukan kami dan... kita.”
“Kita?” ulangku terkejut. “Ya, benar.”
Anggukku lagi dengan cepat.
“Tay, apa ini membuatmu sedikit sulit? Maksudku,
meluruskan rambut... berdandan.... apa ini mengganggu?”
“Tidak, tidak sama sekali. Aku bisa menjadi
seperti apa saja yang kau inginkan. Lagi pula, aku suka tampil cantik. Sudah
lama ingin tampil seperti ini hanya saja aku kekurangan motivasi.”
“Aku... hanya tidak bisa bertahan kalau....”
tiba-tiba Joe menatapku dengan tatapan bersalah sekaligus cemas sementara aku
masih menunggu penjelasannya. “Oh, sudahlah... lupakan saja.” Senyumnya.
"Aku tidak akan pernah merasa terganggu, Joe. Aku senang berjuang seperti ini lagi untukmu.... rasanya melegakan ada yang bisa aku lakukan agar aku pantas berdiri di sini ketimbang hanya bermimpi." ucapku dalam hati.