Sabtu, 28 April 2012

Sparkling Taylor #4




CHAPTER 4

            “Tay....” sapa seseorang sambil melambai padaku.
            Aku berjalan pelan-pelan menghampirinya sambil memerhatikan sekeliling. Tempat apa ini asing untukku? Aku mengerutkan kening sambil berdiri dengan canggung di samping Joe yang tampak sangat santai dan tentu saja selalu menawan. Joe memakai kemeja putih dengan celana jins hitam dan sepatu kets putih, senyumnya mengembang ketika melihat penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
            “Benar kan?!” ucapnya bersemangat. “Kau cantik kalau tampil seperti ini.”
            “Benarkah?” aku tersipu. “Terima kasih. Ehm, Joe, apa yang akan kita lakukan di sini sekarang?”
“Apa saja yang ingin kau lakukan.” Janjinya sepenuh hati. “Ngomong-ngomong, apa aku tidak mengganggu jadwalmu hari ini?”
Aku menggeleng buru-buru. “Tidak-tidak, tentu saja tidak. Jadwalku setiap harinya hanya... belajar.”
“Benarkah? Pantas kau sangat pandai.”
“Trims.”
Aku dan Joe mengobrol santai untuk waktu yang lumayan lama, rasanya mudah sekali berkomunikasi dengan Joe sekarang karena ia tampak lebih membuka diri padaku. Joe lebih banyak bertanya soal aku dan kegiatan serta semua hobiku, topik penting perbincangan malam ini antara aku dan dia adalah aku. Aku, Taylor Alison Swift. Oh, yang benar saja? Masih sulit rasanya menerima ini sebagai kenyataan. Saat dulu kami berpacaran pun, Joe tidak pernah sebaik ini padaku. Maksudku bukan berarti dia jahat, hanya saja dia terlalu... bersikap manis.
Terpikirkan olehku untuk bertanya soal hubungan kami yang sudah usai di waktu yang lalu, aku ingin tahu apa motivasinya kala itu. Tapi tiba-tiba aku teringat bahwa mungkin topik itu akan menghancurkan detik-detik berikutnya dari hari ini. Jadi aku memilih untuk bungkam. Aku tidak berniat untuk mengungkitnya, paling tidak untuk saat ini. Jika semua ini berjalan baik, maka masih akan ada banyak kesempatan untuk kami membicarakannya.
Jujur saja, aku akui hubungan kami dulu sangat aneh. Bagaimana tidak, kami hanya berbicara di telepon dan jalan bersama di akhir pekan, hanya dua akhir pekan karena hubungan itu tidak bertahan lebih dari dua bulan. Selebihnya kami menghabiskan waktu di kampus, terlihat membosankan duduk berdua bersama dan lebih banyak memilih untuk diam. Tapi Joe tidak tahu bahwa setiap detik bersamanya dulu aku selalu merasa bersyukur dan bahagia, walau terkadang kebersamaan kami tidak berarti apa-apa baginya.
“Aku juga suka musik, kau tahu kedua saudaraku... mereka juga suka musik.”
“Oh, Nick dan Kevin.”
“Benar. Mereka sama seperti aku, tergila-gila dengan musik. Dan itu sangat baik karena membuat hubungan kami makin erat. Musik menyatukan kami dan... kita.”
“Kita?” ulangku terkejut. “Ya, benar.” Anggukku lagi dengan cepat.
“Tay, apa ini membuatmu sedikit sulit? Maksudku, meluruskan rambut... berdandan.... apa ini mengganggu?”
“Tidak, tidak sama sekali. Aku bisa menjadi seperti apa saja yang kau inginkan. Lagi pula, aku suka tampil cantik. Sudah lama ingin tampil seperti ini hanya saja aku kekurangan motivasi.”
“Aku... hanya tidak bisa bertahan kalau....” tiba-tiba Joe menatapku dengan tatapan bersalah sekaligus cemas sementara aku masih menunggu penjelasannya. “Oh, sudahlah... lupakan saja.” Senyumnya.
 "Aku tidak akan pernah merasa terganggu, Joe. Aku senang berjuang seperti ini lagi untukmu.... rasanya melegakan ada yang bisa aku lakukan agar aku pantas berdiri di sini ketimbang hanya bermimpi." ucapku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar