Well, tidak mudah berpikir diantara setumpuk tugas yang harus segera diselesaikan. Dan bayang-bayang nilai 'C' hasil UAS semester kemarin adalah momok yang paling menakutkan. Tapi apa salahnya menarik nafas lebih dalam dan berpaling sejenak dari segala macam ketidakenakan menjadi mahasiswa.
Mari berimajinasi....
- - -
CHAPTER 10
Pertengkaran itu berakhir
fatal, sangat fatal. Aku meninggalkan Joe begitu saja dan Joe pun tidak
terlihat berniat menghalangiku pergi atau mungkin mencegahku pergi. Mungkin
otaknya bekerja sangat lamban, hingga ketika ia sadar aku sudah tidak dalam
jangkauannya lagi untuk dikejar. Sepanjang hari itu adalah buruk bagiku, hari
ini akan menjadi salah satu hari terburuk yang pernah aku alami. Tidak perduli
apa, hari ini aku merasa sangat kesal dan marah pada Joe.
Pertama karena Joe menelantarkanku
disabtu malam kemarin. Kedua karena Joe ternyata menganggap enteng masalah ini.
Dan yang terakhir, karena Joe tampak seperti tidak berniat menghentikanku
ketika aku hendak pergi bahkan sampai sekarang pun ia tidak menemui atau
menghubungiku untuk meminta maaf. Mungkin benar, otak Joe bekerja sangat amat
lambat! Apa karena dia terlalu banyak bermain musik bersama dua saudaranya
hingga ia menjadi begitu bodoh begini?!!
Ketika hendak pulang aku tanpa
sengaja berpapasan dengan Nick.
“Taylor?” ucapnya berusaha
mengenaliku.
Aku mendongak menatap wajahnya
lalu tersenyum malu-malu. “Hai.” Sapaku singkat padanya.
“Wow! Kau tampak sangat
berbeda!”
“Ini karena kakakmu yang amat sangat tidak peka itu. Bahkan kau pun bisa
melihat usahaku sementara dia tidak.” Aku tersenyum kecut. “Yeah.” Jawabku akhirnya.
“Kau tidak bersama Joe? Aku
datang ke sini untuk mencarinya, sebenarnya aku tidak ada kerjaan lain selain
mencarinya....”
“Untuk apa mencari Joe?”
tanyaku ketus. “Ehm, aku tidak bersamanya. Tadi pagi aku meninggalkannya di
taman dekat kantin.”
“Meninggalkannya? Ini terdengar
seperti kalian punya masalah?”
“Oh, ayolah, Nick! Mengapa kau sangat peka terhadap hal semacam ini?” aku tersenyum kecil sambil
menyibak anak rambutku yang menutupi sebagian wajah. “Sepertinya begitu. Aku
yakin dia masih bersama teman-temannya, entah dimana pun itu. Kalau kau bisa
menemukan salah satu dari teman-temannya, maka kau akan menemukannya.”
“Terima kasih. Dan maaf soal
Joe.”
“Ya.” Jawabku sambil berlalu
dari hadapannya.
“Kenapa Nick begitu baik dan manis? Dia juga sangat peka terhadap
perasaanku bahkan mungkin dia peka terhadap segala yang ada di sekelilingnya.
Tidak heran, itu sebabnya lagu-lagu yang ia ciptakan selalu sangat menyentuh
dan indah.” Pikirku
sambil terus berjalan. “Bagaimana bisa
kakak-adik kandung memiliki dua sifat yang begitu jauh berbeda? Ah, yang benar
saja, anak kembar identik pun pasti tidak akan sama seratus persen dalam hal
isi kepala.” Lanjutku lagi masih dalam hati.
Aku melompati genangan air
dihadapanku sambil terus memikirkan soal Joe dan Nick. Ini sedikit lebih
menarik dibanding terus hanyut dalam emosi dan sakit hatiku terhadap Joe hari
ini. Lebih baik memikirkan ini, lebih membuatku rileks dan bahagia dibanding
dengan memikirkan masalahku dengan Joe yang sepertinya belum akan usai dalam
waktu dekat ini. Tapi tiba-tiba saja aku kehilangan keseimbanganku dan nyaris
terjatuh.
“Huh!” aku menghembuskan nafas
panjang, lega karena tidak terjatuh. “Nasib baik berpihak padaku.” Lanjutku
lagi sambil terus berjalan.
Aku
berkutat dengan buku bersampul perak itu, mulai sibuk mencari nada yang tepat
lewat petikan dawai gitar yang aku dekap. Tidak ada yang lebih menyenangkan
daripada musik, musik adalah segalanya untukku. Dari musik aku belajar cara
menyatakan cintaku, belajar cara menunjukkan kekecewaan dan sakit hatiku. Dan
dari musik aku belajar untuk menemukan diriku sendiri.
Rambut
ikalku lenyap, aku lebih sering tampil dengan rambut lurus sekarang. Dress
selutut yang cantik dengan flat shoes yang
biasa menemani hari-hariku juga sudah berganti dengan setelah kemeja berkerah
dengan rok mini dengan warna cerah juga ditambhan dengan sepatu bersol tinggi
dan tebal yang hits. Tapi ketika aku kembali pada musik, aku menjadi taylor
yang sepenuhnya. Aku bisa merasakan betapa hidup terasa mudah ketika yang aku
miliki hanya udara dan rangkaian nada.
Ada banyak orang yang ternyata selama ini
memperhatikanku, tadi Nick dan sekarang Abby. Entah harus dengan cara apa aku
berterimakasih pada Abby yang sangat mengerti aku ini.
“Mungkin sebaiknya kau pergi ke
kamar dan mulai bermain dengan musikmu, Tay. Itu akan membuatmu merasa lebih
baik.”
“Aku ingin berdiri di atas
panggung besar, Abby. Panggungku sendiri. Saat aku berada di sana, tidak akan
ada yang meremehkan aku, termasuk Joe.”
“Mungkin sebaiknya kau mulai
bersiap dari sekarang. Pentas pertunjukkan kampus kita akan di gelar sebelum
musim panas berakhir nanti.”
Aku tersenyum.
“Joe dan saudaranya akan tampil
di sana. Kau harus jadi bagian dari acara itu juga.”
Benar, aku juga harus tampil di
sana. Sampai kapan Abby dan Meredith menjadi pendengar setia lagu-laguku, aku
bahkan sudah memiliki laguku sendiri. Oke, baiklah. ini saatnya tampil beda,
Taylor. This is show time.
Dear
You
Terlalu
manis
"teh anget ini manis. tapi gak sekedar manis juga bisa ngangetin badan. lo manis sih, tapi kok malah bikin hati gue beku?" "hujan badai di layo membawa setitik pencerahan, dan teh anget manis ini menjadi media pencerahan selain suara angin berisik di luar. oke, mari memulai...."
Apanya yang terlalu manis?
Senyum lo? Aduuuuh, mungkin egak sih yaaa. Apa kabar senyum Robert Pattinson
atau Taylor Lautner coba kalo senyum lo aja udah dianggep manis? Kalo senyum lo
aja dibilang terlalu manis, berarti senyum mereka adalah super duper extra XXL
too much and many many sweet. How? Jadi apa dong yang terlalu manis itu kalo
bukan senyum lo?
Our memories.
Ya, itu terlalu manis. Meski senyum Robert Pattinson atau
Taylor Lautner lebay manisnya seperti yang gue bilang di atas, tapi mereka
berdua bukan bagian dari kenangan gue. Lo, lo yang bagian dari kenangan itu.
Kenangan gue sama lo gak semuanya manis sih, ada pahit, asem dan sepetnya juga.
Tapi kenangan yang terbingkai dengan title ‘sweet memories with you’ itu lho
yang bikin gak tahan. Gak bisa dilupain barang sedetik, apa lagi sejam atau
sehari, atau seminggu, atau sebulan atau entahlah seberapa lamanya. Mau gimana
dong? Emang gue bisa ngontrolnya? Mungkin ini salah satu alasan kenapa gue gak
bisa move on.
Lo salah karena udah ngebuat segitu banyaknya kenangan
manis yang gak bisa gue lupain atau tepatnya belum bisa gue lupain. Lo salah
karena lo dengan terlalu baiknya ngebagi semua kenangan itu sama gue. Lo salah
karena lo ngebiarin gue untuk jatuh dan kemudian berhenti di sana, di semua
kenangan bareng lo. Dan lo salah karena lo pergi sementara gue masih berharap lo
di sini.
Gue gak pingin semua kenangan itu balik jadi nyata lagi
karena gue sadar betul kalo emang gak ada sedetik pun waktu yang bisa kembali.
Tapi gue cuma pingin, selayaknya kenangan itu semua bisa gue kenang bukan gue
harep-harepin balik. Antara bego sama egoisnya gue ini emang beda tipis. Gue
tau itu gak mungkin balik tapi gue masih ngarep. Aneh. Tapi cinta emang selalu
begitu, selalu aneh dan gak bisa gue mengerti. Berkali-kali bahagia dan terluka
karena cinta tapi gue masih buta banget. Ibarat kata cinta masuk dalam mata
kuliah, gue yakin bakal susah dapet A di matkul cinta ketimbang matkul
fisika-yaiya secara matkul fisika bisa nyontek temen yang pinter inisial ‘A’.
Perkenalan kita, jadian kita, jalan barengnya kita,
berantemnya kita sampe putusnya kita semuanya jadi kenangan. Ada beberapa
bagian yang gak masuk dalam kategori sweet memories, tapi dengan sisi egois
dalam diri gue gue, gue berani bilang “mending gue balik ke saat dimana gue
sama lo berantem atau nyaris putus, karena saat itu semuanya nyata. Lo nyata.
Lo sama gue. Ketimbang sekarang, karena sekarang kita bukan kita tapi lo dan
gue.”
Dan itu gila. Gila banget gue bisa mikir sesederhana itu.
Gue pingin percaya kalo apa yang terjadi pasti ada hikmahnya, gak mungkin buruk
buat gue karena semua pasti ada positifnya. Tapi coba dong lihat gue sekarang,
bergalau ria tiap malem gini apa positifnya idup gue? Setiap hari kerjaannya
stalking timeline lo, begitu pindah ke word dan mulai ngetik, tulisan gue
terinspirasi lagi gara-gara lo. Gak heran semua yang gue tulis, entah twit,
status fesbuk atau bbm sampe postingan blog semua isinya 99,99% adalah
penggalauan. Gimana gak, kan inspirasinya lo?
Lagi-lagi gue nyalahin lo.
Maafin gue ya, karena gue terlalu egois buat bilang ini
semua salah lo. Maafin gue karena gue juga masih ngarepin lo. Maafin gue karena
gue gak bisa dewasa dan nerima keadaan sekarang. Aduuuh, ini kenapa jadi
maaf-maafan?
Gue kangen senyum-senyum sendiri waktu gue nerima sms lo.
Gue kangen waktu gue dengan sengaja lewat di kelas lo pas jam pelajaran cuma
buat cari perhatian lo. Gue kangen keselnya gue waktu tau lo bolos. Gue kangen
uring-uringannya gue waktu berantem sama lo. Aaagggh, semuanya terlalu manis
buat dikenang tapi juga terlalu pahit buat dilupain. Gue pingin bisa mengenang semua
yang manis-manis itu dengan lapang dada dan tanpa ada penggalauan. Tapi itu
susah.
"Terlalu manis untuk dilupakan, kenangan yang indah
bersamamu." (Slank - Terlalu Manis)
"And I keep up with our old friends just to ask them how
you are." (Taylor Swift - Last Kiss)