"Kau tau apa? Perihal memendam rindu, aku juaranya. Bukan gengsi, namun tau diri."
Satu hal penting yang aku lupa ketika aku jatuh cinta, aku lupa konsekuensi tentang rindu. Tentang sakitnya memendam rasa yang tidak bisa aku suarakan. Tentang lelahnya menjadi yang selalu memikirkan tanpa pernah dipikirkan. Tentang betapa putusasanyanya usahaku menerka masa depan....
"Aku merindukanmu. Aku rindu kamu."
Sulit sekali untuk membuatmu tau itu. Sulit sekali untuk membuatmu mengerti...
Orang-orang selama ini salah mempersiapkan hati mereka untuk terluka ketika mereka jatuh cinta. Seharusnya, mereka mempersiapkan hati mereka terlebih dahulu untuk merasakan rindu. Karena rindu juga sama dahsyatnya dengan patah hati dan jatuh cinta itu sendiri. Terlebih rindu yang terpendam, rindu yang tidak dapat diungkapkan, rindu yang jadi milik kita sendirian.
Sebenarnya mengungkapkan rindu itu tidak sulit, sama seperti mengungkapkan cinta, hanya butuh tiga kosa kata dalam satu kalimat sederhana. 'Aku rindu kamu.'
Sederhana kan?
Tapi nyatanya mengatakan hal itu menjadi sulit ketika kamu tau dimana posisimu berada sekarang, siapa dirimu sekarang. Satu kalimat tanya sederhana, 'memangnya kamu siapa?' berhasil mematahkan keyakinanmu untuk mengungkapkan rindu itu.
Aku tak sanggup, bahkan sudah sejak awal, untuk mencintaimu. Aku tidak sanggup menahan cemburu melihatmu dikagumi oleh orang lain, tidak sanggup menahan rindu apalagi saat aku tahu kamu bukan milikku. Tapi aku memaksakan diriku, memaksakan perasaanku... berharap waktu tahu dan mengerti dengan kondisiku, berharap Tuhan melihat dan mengizinkanku bersamamu. Aku ingin menjadi yang pantas merindukanmu, dan juga pantas untuk dirindukan olehmu.
Tanpa perlu mengucapkan selamat tinggal, aku sudah dan selalu berharap untuk bisa bertemu denganmu lagi. Tapi ketika aku melihat bahwa kenyataan perpisahan itu sudah sangat dekat, aku menjadi semakin gila. Rinduku yang kemarin saja belum selesai aku bereskan, bagaimana ini kalau kau pergi dan aku terus merindukanmu setiap hari? Bisa setinggi apa tumpukan rindu itu nantinya? Bagaimana aku mengatasinya jika kamu tidak akan pernah hadir lagi dalam pandangan mata?
Seketika otakku membeku, aku berusaha berpikir keras tapi hasilnya tetaplah nihil.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakanmu pergi, seperti seharusnya.
Kalau saja aku sudah tidak waras lagi, aku ingin sekali berlari padamu kemudian mengatakan aku mencintaimu dan selalu merindukanmu tanpa perlu memikirkan arti dari kata 'tahu diri' lagi. Tapi aku tidak gila, aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan dan tidak. Aku tahu betul dimana posisiku berada. Kadang menjadi waras memang bukanlah pilihan yang tepat. Andai saja kewarasan memiliki tombol 'on-off'yaaa...
Pada akhirnya mencintaimu, sekaligus merindukanmu, bukanlah pilihan tepat untukku. Untukku yang adalah bukan siapa-siapa. Karena dari kedua hal itu... yang aku dapatkan hanyalah perih dan kecewa, terluka dan merana karena aku begitu tahu diri untuk memilih diam dari semua kata tentang kejujuran akan mencintai dan merindu. Pada akhirnya... aku hanya berharap suatu hari kita akan bertemu lagi, aku bisa melihat senyummu lagi... dan merasa cukup.
Indralaya, 16 Maret 2014.
Nofitachandra