-CHAPTER 1-
Aku menemukan diriku terjerembab dalam kisahku sendiri, kisah lama yang sungguh ingin aku akhiri. Kisah lama yang tak pernah bisa aku lepaskan. Kisah lama yang menjadi satu-satunya alasan mengapa aku sekarang berada di sini.
Ini adalah sesuatu yang selalu aku sesali dari kehidupanku. Ini adalah sesuatu yang selalu aku takutkan terjadi dalam kehidupanku. Aku selalu takut untuk melaju ke depan, aku selalu khawatir ketika aku harus memutuskan sesuatu dalam hidupku. Aku takut… aku salah jalan dan aku takut aku jatuh ke tempat menyedihkan seperti tempat di mana aku sekarang. Mengerikan membayangkan aku terjatuh kian dalam lagi, karena ini saja sudah sangat amat mengerikan untuk aku jalani. Dan yang terparah tempat ini seperti penjara yang memerangkapkan aku. Perasaan ini membuatku sulit bernafas dan menemukan keberanian dalam diriku sendiri untuk lari.
Jika aku tahu akan sesakit dan sesulit ini akhirnya maka aku tidak akan pernah mengawali kisah ini sebagaimana yang telah terjadi. Lebih baik aku tidak mengenal apa itu cinta apa itu kasih dan lain sebagainya. Lebih baik aku buta akan cinta, tuli akan kasih dan bisu akan rindu dari pada harus berakhir pada perasaan bodoh seperti yang sekarang menetap di dasar hatiku. Rasa apa? Rasa seperti kau berpikir kau tidak berguna, kau tidak pantas dan kau adalah petaka untuk seseorang yang kau dewakan. Itu adalah perasaan paling menyakitkan yang bisa dirasakan manusia. Bahkan putus cinta atau cinta yang bertepuk sebelah tangan tidak akan sesakit ini jadinya.
Seharusnya sejak awal aku memang tahu diri dan tidak berjalan ke arah ini. Tapi….
“Hey….” Sapa seseorang padaku.
Aku menoleh dan menemukan teman kecilku yang paling setia, Abigail. Berdiri di belakangku dengan dua buah minuman ringan di genggaman tangannya. “Hey….” Jawabku balik menyapanya.
“Ini….” Ia memberikan salah satu dari minuman itu padaku. “Apa yang kau lakukan?”
“Thanks.” Aku tersenyum. “Writing as always.” Jawabku sambil menutup buku berwarna perak dengan angka 13 yang tercetak tebal di cover depannya.
“Entah kapan aku akan mengetahui apa yang sebenarnya kau tulis.” Sindirnya. “Aku harap tidak hanya ada nama Joe di sana… tapi juga namaku.”
Aku melotot menatap wajahnya. “Sudah ku katakan, jangan bahas soal dia!”
“Kau masih mencintainya, Taylor. Kentara sekali….”
“Hentikan, Abby! Jangan bahas soal ini lagi….”
“Kau tidak ingin membahas soal Joe tapi kau selalu menuliskan namanya di setiap halaman diary-mu. Itu aneh… akui saja kau masih mencintainya lalu ceritakan padaku. Aku pasti akan membantumu.”
“Sudahlah….” Ucapku sambil meninggalkan Abigail sendirian.
Gadis sepertiku seharusnya sudah sangat merasa bersyukur bisa mengisi kehidupan dan hati seorang pria seperti Joe meski hanya untuk hitungan hari. Gadis biasa-biasa saja sepertiku, yang mungkin lebih banyak yang mengenal rambut keritingku dibanding wajahku di kampus ini, bisa bersanding dengan pria rupawan yang dielu-elukan seperti Joe itu adalah sesuatu yang istimewa untukku. Tapi tentu saja manusia tidak pernah bisa merasa puas. Aku justru merasa amat sangat menyesal jika cintaku dengan Joe tidak dapat bertahan selamanya, karena aku menginginkan hubungan itu baik-baik saja, paling tidak untuk jangka waktu yang cukup lama. Tapi apa mau dikata, pangeran memang harus bersanding dengan putri.
Abigail bilang aku cukup cantik untuk bersanding dengan Joe. Mataku dengan sorot tajam ditambah kulit putih dan rambut blonde ikal yang khas. Tubuhku juga cukup tinggi dan menawan. Tapi itu pendapat Abigail. Bagaimana dengan pendapat laki-laki lain? Mungkin mereka bilang tubuhku membuat mereka tidak berselera makan. Kalau soal wajah, pernah ada yang bilang aku hanya kurang pada polesan. Tapi aku tidak suka dandan… aku tidak suka make up tebal dan riasan glamour bak selebriti. Jadilah wajahku hanya tampil apa adanya.
Joe pernah mengajariku cara untuk tampil layaknya putri. Joe mengajakku ke salon, mereka meluruskan rambutku, menambahkan riasan yang gemerlap pada bagian kelopak mataku, lalu membuat bibirku tampak lebih tebal dan berkilau. Mereka juga menonjolkan tulang pipiku dan memberikan gaun indah untukku kenakan. Aku tampil totally different, bahkan aku tidak menyangka bahwa baying di cermin ketika itu adalah aku jika aku tidak menemukan angka 13 yang tergambar di punggung telapak tangan kananku. Malam itu memang special, Joe sengaja mengajakku untuk datang pada sebuah pesta megah… acara temannya. Dan Joe ingin aku tampil luar biasa layaknya ia selalu begitu. Dan ia berhasil.
Semua orang yang hadir dan melihatku turun dari sedan hitam yang Joe kemudikan tidak dapat menebak bahwa itu aku. Semua orang menyangka bahwa Joe menggandeng gadis baru untuk diajak ke pesta malam itu. Semua juga baru sadar ketika melihat temporary tattoo pada punggung tangan kananku. Ya, itu memang aku, Taylor Alison Swift. Gadis biasa saja yang malam itu disulap untuk tampil sebagai putri raja.
“Mengapa tidak aku berdandan lagi seperti waktu itu? Itu pasti bisa membuat Joe terkejut…. Paling tidak ia akan memandang ke arahku.” Pikirku dalam hati.