Jumat, 12 Oktober 2012

Sparkling Taylor #9

FINALLY!!!

Modem ini terisi pemirsaaaa dan akhirnya bisa back to dunia maya *dancing*

Oke, kehidupan baru sebagai mahasiswi mulai bergejolak. Setelah dimulai dengan ciye-ciyeeean dengan beberapa orang (?) dan sekarang disibukan dengan tugas dan berbagai macam renungan soal mau ikut ukm apa? Dan akhirnya bisa posting juga lanjutan ceritanya embak gue yang cantik luar biasa ini....

Silahkan menikmati :*

 

* * *

 

“Joe?” ucapku dengan nada tidak enak.

Joe yang sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya tidak sadar dengan kedatanganku, begitu ia mendengar suaraku ia berbalik dengan cepat dengan senyum separo yang masih menggantung dibibir indahnya. Senyum itu dengan cepat hilang ketika Joe melihat pertanda tidak baik yang tersirat diwajahku.

“Hai, Taylor.” Sapanya ramah.

Aku tidak menjawabnya dan hanya tersenyum enggan.

“Apa ada masalah?” tanyanya bingung.

Aku mengangguk cepat. “Tentu. Kita punya masalah besar.” Ucapku.

Well, apa masalahnya?”

Aku tersenyum sinis. “Masalahnya adalah ketidakperdulianmu terhadapku!” ucapku dengan suara lantang.

Joe melihat ekspresi marah diwajahku dengan sigap ia menarikku menjauh dari teman-temannya yang sekarang beralih memperhatikan kami. Aku diam, menunduk menahan ledakan emosi, sementara Joe mengatur nafas sambil berjalan mondar-mandir di hadapanku. Akhirnya aku mendongak dan menunggunya berhenti.

“Tidak perduli? Tidak perduli apa?” ia seperti bergumam. “Taylor, please... jangan persulit keadaan.” Pintanya dengan wajah memelas menatapku.

“Siapa yang mempersulit keadaan?” tanyaku tidak percaya. “Aku menuruti semua kemauanmu, mengikuti semua maumu dengan baik. Tapi apa yang aku dapat? Bahkan untuk meluangkan waktu di sabtu malam saja kau tidak bisa. Jangankan meluangkan waktu, menelepon aku pun tidak.” Semburku frustasi.

Joe menggeleng sambil memegangi keningnya. “Jadi itu masalah besarnya?” tanyanya seperti tidak tertarik. “Taylor, sejak kapan kau menjadi begitu pemberani? Bukankah kau adalah gadis cup.... Arrgh! Lupakan saja!”

Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya, membiarkan suara desahan nafas panjang antara rasa frustasi dan kesal terdengar sampai indera pendengaran Joe. Sekuat tenaga aku menenangkan hatiku, berusaha untuk tidak tampil brutal pada pertengkaran pertamaku ini. Otakku berputar cepat, mencari kata-kata yang terdengar sopan namun cukup menyakitkan hingga bisa membuat Joe sadar akan kesalahan yang ia anggap tak ada artinya sama sekali ini.

Jelas tidak ada artinya untuk Joe. Tapi untukku, untuk diriku sebagai wanita, tentu ini adalah masalah yang sangat besar. Ini bukan masalah remeh yang bisa dengan kibasan tangan hilang begitu saja. Jika aku membiarkan Joe terus seperti ini maka itu sama saja hubungan ini hanya menguntungkan sebelah pihak alias komensalisme.

“Lanjutkan saja... aku gadis macam apa?” Tanyaku berani. “Cupu? Tidak masuk akal? Berasal dari dunia lain? Aku memang bukan gadis pemberani, tapi aku berani untuk dua hal. Pertama, untuk kebenaran dan yang kedua untuk cinta yang aku yakini.”

            “Taylor....” Joe berusaha meredam amarahku yang terlanjut memuncak.

 Ia tersenyum dan menarik tanganku, memegangnya dengan erat. Telapak tangannya terasa hangat membungkus telapak tanganku yang mungil. Senyumnya menenangkan hatiku, seketika hatiku luluh. Amarah itu menghilang dengan cepat, secepat kedatangannya tadi.

“Aku tidak berdiri di sini sebagai Taylor yang bodoh, Joe.” Ucapku kemudian. Ekspresi wajahku yang mulai mengendur kembali dipenuhi gurat menahan amarah. “Aku tidak akan lagi jadi gadis bodoh! Itu kan maumu?”

            Dan aku meninggalkannya pergi begitu saja.

Oke, beri applause untuk usahaku kali ini, please....

Ini adalah hari terkeren sepanjang sejarah hidupku. Hari terkeren karena akhirnya seorang Taylor bisa membuka suara dan membungkam mulut Joe dengan begitu mudahnya. Dengan harga tinggi aku pergi meninggalkannya begitu saja tadi. Dan, oh ya ampun! Joe tadi berusaha meredam amarahku... apa mungkin lain kali dia akan berusaha menghentikanku, memohon padaku?

Mungkin saja!

Tenang, Taylor... selagi keberanian itu masih ada dalam dirimu... puas-puaslah menyanjung agungkan dirimu sebelum... semuanya berubah menjadi....

“Aku membenci diriku sendiri!!!” teriakku dalam tangisan.

Abigail hanya sanggup menggeleng dengan wajah tak berekspresi apa-apa melihatku duduk sambil tertunduk, membenamkan wajah pada kedua telapak tangan, menangis seperti orang gila. Rambut blonde ikalku awut-awutan tidak teratur.

“Mengapa aku bodoh sekali?! Aku sudah menciptakan bencana!!!”

“Taylor....”

“Mengapa aku begitu berani... Joe sudah berniat baik tadi, meredam amarahku... tapi aku malah meninggalkannya pergi. Aku bodoh!!!”

Abby berjalan menghampiriku.

“Kau tahu, kau bodoh kalau kau terus seperti ini? Apa yang kau lakukan itu adalah benar. Kau berharga, Taylor... bahkan ada banyak orang yang menyayangimu. Tapi kau malah terjebak dalam cinta yang tidak masuk akal itu. Seharusnya kau bisa keluar tapi kau terlalu takut. Dan sekarang aku sudah mulai melihat keberanianmu, jadi... masih ada harapan.”

“Tapi aku bodoh, Abby... aku mengecewakan Joe.”

“Sudah berapa kali dia membahagiakanmu dan sudah berapa kali dia membuatmu kecewa?" Suara Abigail seperti menahan amarah. "Kau tahu jawabannya, kan? Pikirkan itu....” ucap Abby bijak sambil meninggalkanku pergi.

Sepeninggal Abigail bukannya tambah membaik aku malah makin merasa buruk.

Menghabiskan waktu semalaman di kamar sambil berlinang air mata. Menyedihkan.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar