Sparkling Taylor #9
FINALLY!!!
Modem ini terisi pemirsaaaa dan akhirnya bisa back to dunia maya *dancing*
Oke, kehidupan baru sebagai mahasiswi mulai bergejolak. Setelah dimulai dengan ciye-ciyeeean dengan beberapa orang (?) dan sekarang disibukan dengan tugas dan berbagai macam renungan soal mau ikut ukm apa? Dan akhirnya bisa posting juga lanjutan ceritanya embak gue yang cantik luar biasa ini....
Silahkan menikmati :*
* * *
“Joe?” ucapku dengan nada tidak enak.
Joe yang sedang asyik mengobrol dengan
teman-temannya tidak sadar dengan kedatanganku, begitu ia mendengar suaraku ia
berbalik dengan cepat dengan senyum separo yang masih menggantung dibibir
indahnya. Senyum itu dengan cepat hilang ketika Joe melihat pertanda tidak baik
yang tersirat diwajahku.
“Hai, Taylor.” Sapanya ramah.
Aku tidak menjawabnya dan hanya tersenyum
enggan.
“Apa ada masalah?” tanyanya bingung.
Aku mengangguk cepat. “Tentu. Kita punya
masalah besar.” Ucapku.
“Well,
apa masalahnya?”
Aku tersenyum sinis. “Masalahnya adalah
ketidakperdulianmu terhadapku!” ucapku dengan suara lantang.
Joe melihat ekspresi marah diwajahku dengan
sigap ia menarikku menjauh dari teman-temannya yang sekarang beralih
memperhatikan kami. Aku diam, menunduk menahan ledakan emosi, sementara Joe
mengatur nafas sambil berjalan mondar-mandir di hadapanku. Akhirnya aku mendongak
dan menunggunya berhenti.
“Tidak perduli? Tidak perduli apa?” ia seperti
bergumam. “Taylor, please... jangan
persulit keadaan.” Pintanya dengan wajah memelas menatapku.
“Siapa yang mempersulit keadaan?” tanyaku
tidak percaya. “Aku menuruti semua kemauanmu, mengikuti semua maumu dengan
baik. Tapi apa yang aku dapat? Bahkan untuk meluangkan waktu di sabtu malam saja
kau tidak bisa. Jangankan meluangkan waktu, menelepon aku pun tidak.” Semburku
frustasi.
Joe menggeleng sambil memegangi keningnya.
“Jadi itu masalah besarnya?” tanyanya seperti tidak tertarik. “Taylor, sejak
kapan kau menjadi begitu pemberani? Bukankah kau adalah gadis cup.... Arrgh!
Lupakan saja!”
Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian
menghembuskannya, membiarkan suara desahan nafas panjang antara rasa frustasi
dan kesal terdengar sampai indera pendengaran Joe. Sekuat tenaga aku menenangkan
hatiku, berusaha untuk tidak tampil brutal pada pertengkaran pertamaku ini.
Otakku berputar cepat, mencari kata-kata yang terdengar sopan namun cukup
menyakitkan hingga bisa membuat Joe sadar akan kesalahan yang ia anggap tak ada
artinya sama sekali ini.
Jelas tidak ada artinya untuk Joe. Tapi
untukku, untuk diriku sebagai wanita, tentu ini adalah masalah yang sangat
besar. Ini bukan masalah remeh yang bisa dengan kibasan tangan hilang begitu
saja. Jika aku membiarkan Joe terus seperti ini maka itu sama saja hubungan ini
hanya menguntungkan sebelah pihak alias komensalisme.
“Lanjutkan saja... aku gadis macam apa?”
Tanyaku berani. “Cupu? Tidak masuk akal? Berasal dari dunia lain? Aku memang
bukan gadis pemberani, tapi aku berani untuk dua hal. Pertama, untuk kebenaran
dan yang kedua untuk cinta yang aku yakini.”
“Taylor....”
Joe berusaha meredam amarahku yang terlanjut memuncak.
Ia
tersenyum dan menarik tanganku, memegangnya dengan erat. Telapak tangannya
terasa hangat membungkus telapak tanganku yang mungil. Senyumnya menenangkan
hatiku, seketika hatiku luluh. Amarah itu menghilang dengan cepat, secepat
kedatangannya tadi.
“Aku
tidak berdiri di sini sebagai Taylor yang bodoh, Joe.” Ucapku kemudian.
Ekspresi wajahku yang mulai mengendur kembali dipenuhi gurat menahan amarah.
“Aku tidak akan lagi jadi gadis bodoh! Itu kan maumu?”
Dan
aku meninggalkannya pergi begitu saja.
Oke, beri applause untuk usahaku
kali ini, please....
Ini adalah hari terkeren
sepanjang sejarah hidupku. Hari terkeren karena akhirnya seorang Taylor bisa
membuka suara dan membungkam mulut Joe dengan begitu mudahnya. Dengan harga
tinggi aku pergi meninggalkannya begitu saja tadi. Dan, oh ya ampun! Joe tadi
berusaha meredam amarahku... apa mungkin lain kali dia akan berusaha
menghentikanku, memohon padaku?
Mungkin saja!
Tenang, Taylor... selagi keberanian
itu masih ada dalam dirimu... puas-puaslah menyanjung agungkan dirimu
sebelum... semuanya berubah menjadi....
“Aku membenci diriku sendiri!!!”
teriakku dalam tangisan.
Abigail hanya sanggup menggeleng
dengan wajah tak berekspresi apa-apa melihatku duduk sambil tertunduk,
membenamkan wajah pada kedua telapak tangan, menangis seperti orang gila. Rambut
blonde ikalku awut-awutan tidak teratur.
“Mengapa aku bodoh sekali?! Aku sudah
menciptakan bencana!!!”
“Taylor....”
“Mengapa aku begitu berani... Joe
sudah berniat baik tadi, meredam amarahku... tapi aku malah meninggalkannya
pergi. Aku bodoh!!!”
Abby berjalan menghampiriku.
“Kau tahu, kau bodoh kalau kau
terus seperti ini? Apa yang kau lakukan itu adalah benar. Kau berharga,
Taylor... bahkan ada banyak orang yang menyayangimu. Tapi kau malah terjebak
dalam cinta yang tidak masuk akal itu. Seharusnya kau bisa keluar tapi kau
terlalu takut. Dan sekarang aku sudah mulai melihat keberanianmu, jadi... masih
ada harapan.”
“Tapi
aku bodoh, Abby... aku mengecewakan Joe.”
“Sudah berapa kali dia
membahagiakanmu dan sudah berapa kali dia membuatmu kecewa?" Suara Abigail seperti menahan amarah. "Kau tahu
jawabannya, kan? Pikirkan itu....” ucap Abby bijak sambil meninggalkanku pergi.
Sepeninggal Abigail bukannya tambah
membaik aku malah makin merasa buruk.
Menghabiskan waktu semalaman di
kamar sambil berlinang air mata. Menyedihkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar