Pada
akhirnya, kehidupan akan menghadapkan kita pada perpisahan,
entah
sementara atau selamanya.
Ya, benar. Pada akhirnya aku dan semua manusia lain
yang dihidup dimuka bumi akan bertemu dengan perpisahan. Entah berpisah untuk
kembali bertemu, atau berpisah tanpa ada lagi kesempatan akan pertemuan kedua. Entah
sebentar atau lama, entah yang diinginkan atau tidak. Namun, yang kebanyakan
tidak bisa diterima manusia akibat dari perpisahan itu adalah rasa kehilangan. Rasa
ini muncul ketika manusia tidak bisa berdamai pada keterbiasaan. Tak perduli
bagaimana akhir dari pertemuan itu, pasti akan meninggalkan rasa kehilangan.
Terbiasa ada, kemudian hilang. Terbiasa bersama,
kemudian berpisah.
Hidup memang selalu tentang dua sisi yang berlawanan.
Hitam dan mati. Baik dan buruk. Hidup dan kemudian mati. Bertemu dan kemudian
berpisah. Selalu begitu. Hanya saja dalam kasus perpisahan dan kematian, tidak
ada manusia yang bisa menduga kapan tepatnya akan datang. Manusia hanya diminta
untuk selalu siap pada setiap keadaan terburuk, untuk tiba-tiba dipertemukan
pada kematian ataupun perpisahan.
Dan ketika perpisahan mempertemukan manusia pada
rasa kehilangan, semua yang ada di dunia seketika terasa hambar. Yang tersisa
hanya rasa lemah akibat ketidakmampuan untuk kembali mengulang pola
keterbiasaan. Dan karena manusia terlalu egois, tidak ingin pindah dari rasa
nyaman yang telah didapat, tak ingin pergi ketika hangatnya keterbiasaan sudah
terlalu lama menjerat.
Namun pada akhirnya manusia tidak akan mampu melawan
takdir. Tidak akan pernah. Dan satu-satunya hal yang bisa dilakukan manusia
ketika itu adalah pasrah. Karena sejauh apapun melangkah, kaki akan kembali
pulang ke rumah.
"Karena sejauh apapun melangkah,
kaki akan kembali
pulang ke rumah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar