Seperti yang sudah saya katakan di postingan sebelumnya, dedek mau update chapter terbarunya Dear You nih. Dilengkapi dengan unsur ke-baperan disana-sini, ditambah sedikit kata yang dilebih-lebihkan, dan tentu saja beberapa fakta yang diracik sedemikian rupa supaya layak untuk dibaca hehe
Udah ah, garing. Cuussss, selamat membaca :*
“Biar
sejenak ku tanggalkan gengsi
Demi
bisa menyampaikan isi hati.
Aku
rindu...
Itu
saja.”
Nofita Chandra
Tidak banyak kata yang kamu ucapkan dipertemuan
terakhir kita, sama halnya seperti aku yang kehilangan banyak asa seketika
setelah ketiadaanmu lagi dalam jangkauan pandang mata. Sebelumnya kita
dipertemukan sebagai dua orang asing yang tidak tahu apa-apa, dan seketika
waktu mengubah ketidaktahuan itu menjadi jalan untuk terus mendekatkan kita. Namun
pada akhirnya waktu jualah yang menghadapkan kita pada perpisahan raga. Entah sependapat
atau tidak, aku tidak menyukai ide tentang ketidakmampuan untuk bertemu,
ketidakleluasaan untuk bercerita, atau bahkan keragu-raguan untuk kembali
merindu.
Aku sudah berkali-kali mendengar dan membaca cerita
tentang betapa kejamnya jarak membunuh sebuah perasaan, dan kali ini adalah
giliranku untuk membuktikan apakah hal itu benar atau hanya karangan.
Kita bukanlah apa-apa saat dipertemukan, dan masih
bukan juga apa-apa saat secara paksa dipisahkan. Aku tidak lagi ingin mendengar
pendapatmu, tapi kenyataan ini menyakiti hatiku, mengecewakanku yang kepalang
jatuh dalam rasa nyaman berada dekat denganmu.
Nyatanya jarak tak hanya menjauhkan raga tapi juga
hati. Perlahan, rasa nyaman itu pudar diiringi terbiasanya aku dengan
ketidakhadiranmu. Ku pikir semua selesai sampai disana, layaknya sebuah cerita
yang tidak jelas dimana dimulainya, akhirnya pun abu-abu, tak dapat dilihat
oleh mata dengan sebegitu mudahnya.
Namun nyatanya dalam satu atau dua kali kesempatan
aku bertemu dengan satu titik dimana sebuah perasaan lain datang menyergap. Kadang
ia datang saat aku sedang sendirian, atau bisa juga ketika aku dalam keramaian.
Kadang juga ia datang ketika malam atau malah ia datang di siang bolong. Aku mencoba
membaca polanya, menemukan jawaban darimana datangnya rasa baru ini. Tapi lagi-lagi,
jawabannya seolah tersembunyi entah dimana.
Aku rindu.
Seolah tidak ada kalimat lain yang mampu menjelaskan
perasaan ini selain dua kalimat itu. Ada banyak kata yang bisa aku tambahkan
disana-sini untuk membuatnya terdengar lebih dramatis atau romantis, tapi
otakku tak mampu menyusun kata-kata itu menjadi perpaduan yang tepat. Yang bisa
aku katakan hanyalah “aku rindu”. Dan jika boleh ditambah dengan satu kata
lagi, maka kalimatnya akan berubah menjadi “aku sangat rindu”.
Awalnya ku pendam rasa ini dengan berbagai macam
cara, berusaha bertindak menggunakan logika dan memenangkannya dalam
pertempuran melawan rasa. Tapi pada akhirnya aku sampai pada titik lain dimana
aku tak sanggup lagi untuk berpura-pura. Berpura-pura tidak perduli dan
kehilangan rasa untuk mencaritahu kabarmu. Berpura-pura tak ingin dan berharap
tak ada lagi pertemuan diantara kita. Berharap dengan begitu aku bisa secepatnya
melupakanmu dengan sempurna.
Tapi sekarang aku rindu. Aku merindukanmu. Dan baru
sekarang aku mengerti bahwa menahan rindu sama sulitnya dengan menahan cemburu.
Dan parahnya kita telah dipisahkan oleh jarak dan dibiasakan oleh waktu untuk
tidak lagi seperti dulu, sedekat dan senyaman dulu. Fakta ini membuatku
kesulitan menemukan cara untuk memberitahumu.
Anggaplah aku adalah seorang pengecut yang hanya
mampu menyuarakan kerinduanku dibalik kata-kata seperti yang sekarang dapat aku
lakukan. Tapi setidaknya dengan begini, kerindukanku tersampaikan...
Ku tanggalkan sejenak gengsiku, dengarlah... aku
rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar