Selasa, 01 September 2015

Dear You #24

Seperti yang sudah saya katakan di postingan sebelumnya, dedek mau update chapter terbarunya Dear You nih. Dilengkapi dengan unsur ke-baperan disana-sini, ditambah sedikit kata yang dilebih-lebihkan, dan tentu saja beberapa fakta yang diracik sedemikian rupa supaya layak untuk dibaca hehe


Udah ah, garing. Cuussss, selamat membaca :*



“Biar sejenak ku tanggalkan gengsi
Demi bisa menyampaikan isi hati.
Aku rindu...
Itu saja.”

Nofita Chandra


 

Tidak banyak kata yang kamu ucapkan dipertemuan terakhir kita, sama halnya seperti aku yang kehilangan banyak asa seketika setelah ketiadaanmu lagi dalam jangkauan pandang mata. Sebelumnya kita dipertemukan sebagai dua orang asing yang tidak tahu apa-apa, dan seketika waktu mengubah ketidaktahuan itu menjadi jalan untuk terus mendekatkan kita. Namun pada akhirnya waktu jualah yang menghadapkan kita pada perpisahan raga. Entah sependapat atau tidak, aku tidak menyukai ide tentang ketidakmampuan untuk bertemu, ketidakleluasaan untuk bercerita, atau bahkan keragu-raguan untuk kembali merindu.


Aku sudah berkali-kali mendengar dan membaca cerita tentang betapa kejamnya jarak membunuh sebuah perasaan, dan kali ini adalah giliranku untuk membuktikan apakah hal itu benar atau hanya karangan.


Kita bukanlah apa-apa saat dipertemukan, dan masih bukan juga apa-apa saat secara paksa dipisahkan. Aku tidak lagi ingin mendengar pendapatmu, tapi kenyataan ini menyakiti hatiku, mengecewakanku yang kepalang jatuh dalam rasa nyaman berada dekat denganmu.


Nyatanya jarak tak hanya menjauhkan raga tapi juga hati. Perlahan, rasa nyaman itu pudar diiringi terbiasanya aku dengan ketidakhadiranmu. Ku pikir semua selesai sampai disana, layaknya sebuah cerita yang tidak jelas dimana dimulainya, akhirnya pun abu-abu, tak dapat dilihat oleh mata dengan sebegitu mudahnya.


Namun nyatanya dalam satu atau dua kali kesempatan aku bertemu dengan satu titik dimana sebuah perasaan lain datang menyergap. Kadang ia datang saat aku sedang sendirian, atau bisa juga ketika aku dalam keramaian. Kadang juga ia datang ketika malam atau malah ia datang di siang bolong. Aku mencoba membaca polanya, menemukan jawaban darimana datangnya rasa baru ini. Tapi lagi-lagi, jawabannya seolah tersembunyi entah dimana.


Aku rindu.


Seolah tidak ada kalimat lain yang mampu menjelaskan perasaan ini selain dua kalimat itu. Ada banyak kata yang bisa aku tambahkan disana-sini untuk membuatnya terdengar lebih dramatis atau romantis, tapi otakku tak mampu menyusun kata-kata itu menjadi perpaduan yang tepat. Yang bisa aku katakan hanyalah “aku rindu”. Dan jika boleh ditambah dengan satu kata lagi, maka kalimatnya akan berubah menjadi “aku sangat rindu”.


Awalnya ku pendam rasa ini dengan berbagai macam cara, berusaha bertindak menggunakan logika dan memenangkannya dalam pertempuran melawan rasa. Tapi pada akhirnya aku sampai pada titik lain dimana aku tak sanggup lagi untuk berpura-pura. Berpura-pura tidak perduli dan kehilangan rasa untuk mencaritahu kabarmu. Berpura-pura tak ingin dan berharap tak ada lagi pertemuan diantara kita. Berharap dengan begitu aku bisa secepatnya melupakanmu dengan sempurna.


Tapi sekarang aku rindu. Aku merindukanmu. Dan baru sekarang aku mengerti bahwa menahan rindu sama sulitnya dengan menahan cemburu. Dan parahnya kita telah dipisahkan oleh jarak dan dibiasakan oleh waktu untuk tidak lagi seperti dulu, sedekat dan senyaman dulu. Fakta ini membuatku kesulitan menemukan cara untuk memberitahumu.


Anggaplah aku adalah seorang pengecut yang hanya mampu menyuarakan kerinduanku dibalik kata-kata seperti yang sekarang dapat aku lakukan. Tapi setidaknya dengan begini, kerindukanku tersampaikan...


Ku tanggalkan sejenak gengsiku, dengarlah... aku rindu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar