Love Notes
Seseorang
yang sejak beberapa waktu lalu posisinya naik tingkat, mulai malam ini menjadi
seseorang yang namanya ku ulang dalam do’a paling sering dan ku sebut paling
kuat.
Cinta
bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Tidak terkecuali aku disaat menatap
matamu. Tidak, bukan disaat itu, tapi disaat aku memerhatikanmu dari jauh.
Bodoh, ini kisah cinta klasik yang bodoh. Sekarang sudah di pertengahan tahun
2016, masih ada saja seseorang yang jatuh cinta dengan cara kampungan seperti
memerhatikannya dari jauh seperti itu. Ada, aku orangnya.
Tertawalah
untuk cara bodohku jatuh cinta. Tapi jangan menertawakan cinta itu sendiri,
karena cinta tidak bersalah. Tidak pernah salah.
Berkali-kali
aku ulangi, kenapa harus pada senyummu perasaan ini tumbuh? Kenapa harus karena
sentuhanmu perasaan itu kian besar dan makin besar? Kenapa harus kamu yang
menjadi pengalih dari segala pikiran berkecamuk dalam benakku ini?
Mungkin
karena lelucon tidak lucumu. Mungkin karena senyum separuh yang seolah tak
ikhlas itu. Mungkin karena satu dua kali kecerobohanmu yang tertangkap mataku.
Mungkin karena bagaimana caramu menghormati orang-orang di sekitar. Mungkin
karena perangai kerasmu. Mungkin karena semakin banyak waktu yang aku habiskan
untuk memerhatikanmu.
Andai
saja kamu mengetahuinya bahwa disetiap kali aku memerhatikanmu selalu terselip
do’a dan kekaguman. Do’a untuk kesalahanmu agar tak terulang, kagum untuk
keberhasilanmu yang membuatku terpesona.
Kamu
hanyalah seorang manusia biasa, lengkap dengan ego dan dosa. Tapi karena itu
aku memandangmu tak biasa. Kamu lantang menyuarakan kebenaran dan tidak malu
untuk meminta maaf saat memang kesalahan ada pada pundakmu. Kamu selalu penuh
semangat dan ambisi mewujudkan apa yang ada dalam kepalamu, tapi juga tak
gentar untuk mengalah kala keadaanmu menundukkanmu.
Wajar
kan kalau aku menyukaimu?
Terlebih
diwaktu-waktu terakhir saat keadaan memaksa kita untuk selalu dekat. Sempat
dalam hati aku berharap waktu berhenti berputar, atau biarkan waktu berjalan
tapi jadikan aku sebagai rumah tempatmu kembali setiap kali pergi. Jadi aku tak
perlu mengkhawatirkan kehilangan, tak perlu takut berhadapan dengan kekecewaan.
Tapi
mana mungkin hal itu bisa terjadi. Aku terlalu memandang rendah diriku
sendiri... bagaimana bisa orang sepertimu menjadikan diriku sebagai rumahnya?
Sebagai tempat kembali setiap kali ia lelah dalam petualangannya?
Sampai
pada terakhir... kita sampai diujung jumpa.
Karena
yang paling masuk akal untuk diucapkan saat ini adalah ‘terima kasih’ bukan
‘sampai bertemu’ apalagi ‘aku akan merindukanmu’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar