Minggu, 20 November 2016

Love Notes







Aku benci menatapmu sibuk sendiri dengan layar persegi panjang itu. Mengacuhkanku dan berpura-pura tenggelam dalam nikmat pekerjaan yang sekali-dua kali kau keluhkan. Apa itu cara terbaikmu untuk menghindar dariku? Berpura-pura sibuk sehingga tak perlu memperdulikanku yang melempar pandang, menggantung harap, menunggu balasan tatap...


Tentu bukan pertama kalinya kita duduk dalam ruang kotak seperti sekarang, sebelumnya gelas-gelas berisi kopi pekat dengan rasa pahit yang jahat juga pernah menjadi teman kita menghabiskan waktu. Waktu itu rasa kopi yang pahit menjadi tawar karena senyummu. Saat ini rasa kopi yang pahit menjadi seribu kali lebih pahit karena ketidakpedulianmu terhadapku. Kau bahkan enggan duduk berbagi meja denganku, kau lebih memilih menjauh ke sudut sana dan larut dalam duniamu.


Ada banyak kata yang ingin terucap keluar dari sepasang bibirku. Sayangnya, kau membungkamku lewat diammu, tak mengizinkanku bicara. Ada sebuncah perasaan yang tertata dalam pandangku. Sayangnya, kau enggan berbagi tatap apalagi menetap sejenak disana untuk membacanya.


Ada apa, Tuan? Waktu dan jarak mengubah jalan pikiranmu? Tidakkah aku semenarik saat itu lagi, saat hatimu sedang hancur-hancurnya akibat harapan yang tak sesuai kenyataan?


Ada apa, Tuan? Mengapa tiba-tiba kita kembali menjadi orang asing?


Dan ketika akhirnya aku mengerti kau sudah menjatuhkan pilihan... aku menarik diri. Ah, kau tidak ingin mengenalku seperti saat itu lagi. Kita hanya dua orang yang saling kenal, kita tidak dekat. Kedekatan kita tempo itu hanya sementara rupanya. Mungkin perbedaan jarak dan waktu yang akhirnya mengubah pikiranmu, menyadarkanmu bahwa kita memang tidak sedekat itu.


Tapi maaf sekali, Tuan... aku terlanjur suka pada tuturmu berkata, hanyut dalam peranmu yang bijaksana tapi juga jenaka. Ah, Tuan... andai saja aku ini bodoh dan buta, aku bisa saja berkilah aku tidak mengerti dan tidak melihat bagaimana dengan halusnya kau menunjukkan arah.


Pada arah ‘kita bukan apa-apa’ kau mengarahkan kakiku melangkah selanjutnya. Dan ketika aku mengerti bahwa pilihanmu adalah untuk kembali menjadi asing (lagi) bagiku, aku tahu diri. Aku tahu jelas kemana telunjukmu mengarahkanku dan kesanalah aku akan beranjak.


Tapi, Tuan... jika saja kau menyesal... aku belum akan pergi jauh. Mungkin tawa hangatmu dan guyonan tak masuk akalmu bisa membuatku kembali jatuh. Mungkin....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar