Love Notes
Aku benci menatapmu sibuk sendiri dengan layar
persegi panjang itu. Mengacuhkanku dan berpura-pura tenggelam dalam nikmat
pekerjaan yang sekali-dua kali kau keluhkan. Apa itu cara terbaikmu untuk
menghindar dariku? Berpura-pura sibuk sehingga tak perlu memperdulikanku yang
melempar pandang, menggantung harap, menunggu balasan tatap...
Tentu bukan pertama kalinya kita duduk dalam ruang
kotak seperti sekarang, sebelumnya gelas-gelas berisi kopi pekat dengan rasa
pahit yang jahat juga pernah menjadi teman kita menghabiskan waktu. Waktu itu
rasa kopi yang pahit menjadi tawar karena senyummu. Saat ini rasa kopi yang
pahit menjadi seribu kali lebih pahit karena ketidakpedulianmu terhadapku. Kau bahkan
enggan duduk berbagi meja denganku, kau lebih memilih menjauh ke sudut sana dan
larut dalam duniamu.
Ada banyak kata yang ingin terucap keluar dari
sepasang bibirku. Sayangnya, kau membungkamku lewat diammu, tak mengizinkanku
bicara. Ada sebuncah perasaan yang tertata dalam pandangku. Sayangnya, kau
enggan berbagi tatap apalagi menetap sejenak disana untuk membacanya.
Ada apa, Tuan? Waktu dan jarak mengubah jalan
pikiranmu? Tidakkah aku semenarik saat itu lagi, saat hatimu sedang
hancur-hancurnya akibat harapan yang tak sesuai kenyataan?
Ada apa, Tuan? Mengapa tiba-tiba kita kembali
menjadi orang asing?
Dan ketika akhirnya aku mengerti kau sudah
menjatuhkan pilihan... aku menarik diri. Ah, kau tidak ingin mengenalku seperti
saat itu lagi. Kita hanya dua orang yang saling kenal, kita tidak dekat. Kedekatan
kita tempo itu hanya sementara rupanya. Mungkin perbedaan jarak dan waktu yang
akhirnya mengubah pikiranmu, menyadarkanmu bahwa kita memang tidak sedekat itu.
Tapi maaf sekali, Tuan... aku terlanjur suka pada
tuturmu berkata, hanyut dalam peranmu yang bijaksana tapi juga jenaka. Ah,
Tuan... andai saja aku ini bodoh dan buta, aku bisa saja berkilah aku tidak
mengerti dan tidak melihat bagaimana dengan halusnya kau menunjukkan arah.
Pada arah ‘kita bukan apa-apa’ kau mengarahkan
kakiku melangkah selanjutnya. Dan ketika aku mengerti bahwa pilihanmu adalah
untuk kembali menjadi asing (lagi) bagiku, aku tahu diri. Aku tahu jelas kemana
telunjukmu mengarahkanku dan kesanalah aku akan beranjak.
Tapi, Tuan... jika saja kau menyesal... aku belum
akan pergi jauh. Mungkin tawa hangatmu dan guyonan tak masuk akalmu bisa
membuatku kembali jatuh. Mungkin....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar