CHAPTER 6
“Aku datang!” senyumku pada Joe yang sudah
menungguku di kampus.
Ia tersenyum enggan lalu bangkit dan
menarikku, membawaku ke tengah-tengah perkumpulannya. Teman-temannya saling
berdeham dan ada yang dengan lancangnya tertawa. Aku menatap wajah Joe dan
menemukan sorot tidak suka yang terpancar dari matanya. Aku menelan ludah
dengan susah payah sambil berusaha bersuara.
Baru saja aku hendak mengambil nafas agar bisa
berteriak riang menyapa teman-teman Joe ketika Joe mendahuluiku.
“Oke, guys,
ini Taylor. Tentu kalian tahu dia.” Suaranya terdengar tak bersemangat.
“Hai, selamat pagi.” Ucapku dengan nada suara
terjaga.
“Dia benar-benar cantik. Joe, selamat!”
ucapnya sambil terkikik.
Bukannya senang, Joe malah mendelik padanya.
“Oke, silahkan, Taylor... sesuai perjanjian. Ucapkan apa yang harus mereka
dengar sebelum aku gila.”
“Oke, baiklah....” jawabku pelan. Aku
menaikkan daguku, “aku sangat amat mencintai Joe.” Ucapku sambil menahan malu.
Begitu menyudahi kalimat yang dijawab dengan teriakan “Huuuu” dari
teman-temanku itu, aku buru-buru menundukkan wajahku.
“Baiklah. Selesai. Ayo, ikut aku!” Joe
menarikku dan meninggalkan kerumunan teman-temannya.
= = =
“Hai, Tay....” sapa Abigail dengan suara
nyaring. “Aku dengar dari teman-teman, kau tadi bergabung bersama gengnya Joe
di kampus, benarkah? Wow, itu pasti keren sekali!” cerocos Abby panjang-lebar,
sepertinya Abigail tidak memperhatikan raut wajahku jadi dia tidak tahu kalau
kondisi perasaanku sedang tidak begitu baik.
“Kau baik-baik saja, Tay? Apa kau terlalu shock? Oh iya, aku tau kau pasti gugup
sekali tadi, tapi... itu kan sudah berakhir. Sebentar lagi kau akan terbiasa,
percayalah.”
“Abigail!” bentakku sedikit kasar membuat Abby
mengunci mulutnya rapat-rapat sambil memandangiku dengan tatapan meminta maaf
sekaligus bertanya-tanya. Sementara itu aku menatapnya dengan tatapan sedih dan
tidak enak hati karena sudah membentaknya. “Maaf....” ucapku singkat.
Abigail masih terdiam sampai akhirnya dia
duduk di sampingku dan menghela nafas panjang sebelum kembali bersuara. “Tidak
apa-apa. Aku yang tidak menyadari suasana hatimu sedang tidak baik untuk
mendengarkan celotehanku, maaf....” ucapnya tulus.
Ucapannya barusan membuatku merasa makin tidak
enak hati.
“Apa ada masalah? Soal Joe lagi?”
Abigail sangat mengerti aku. “Ya.” Jawabku
malu-malu.
“Apalagi kali ini?” sepertinya ia sudah biasa
mendengar dan melihatku bersedih karena nama ini. “Aku tidak memaksamu
bercerita kalau memang kau tidak ingin men....”
“Dia memintaku tampil seperti dewi.” Potongku.
“Dia ingin aku tampil lebih cantik dari pada Taylor yang ia lihat. Dia merasa
kami tidak serasi dalam penampilan dan aku tahu itu benar. Dan aku sedih.” Aku
menghembuskan nafas sambil membenamkan wajahku pada kedua telapak tangan. “Joe
sangat baik karena mau menerimaku kembali, tapi aku tidak bisa memenuhi
keinginannya. Ia hanya ingin aku tampil lebih cantik dan itu semua juga demi
kebaikanku. Tapi aku tidak bisa....” aku mengakhiri penjelasanku dengan tertawa,
bukan karena bahagia tapi karena aku putus asa.
“Cinta memang membuat orang-orang yang
merasakannya jadi buta.” Ucapnya singkat. “Kau buta karena cintamu untuknya.
Seharusnya jika dia juga mencintaimu seperti kau mencintainya, dia juga
merasakan hal yang sama seperti yang kau rasakan. Seharusnya dia juga buta
untuk melihat sejuta kekurangan pada dirimu yang selama ini terus ia ributkan.”
Ucap Abigail sambil tersenyum.