Hai,
apa kabar?
Pertanyaan
singkatku sebagai pembuka reuni kecil kita kala bayangmu menyergap ditengah
kesepian yang tiba-tiba datang. Heran ya, kenapa datangmu harus diwaktu-waktu
seperti ini? Seperti saat aku sedang suntuk, sedang sendiri, sedang bosan, atau
ketika indera perasaku-hati tiba-tiba mati.
Apa
kau bahagia hari ini?
Itu
adalah pertanyaan keduaku saat seulas senyummu kembali terangkai begitu nyata
dalam benak. Ah, senyum itu... bagaimana dulu bentuknya mampu membolak-balik
hatiku, mengacaukannya. Kekuatan magisnya dengan seketika bisa membuatku yang
bermuramdurja menjadi bahagia. Sudut simpul pada kedua sisinya dengan
serta-merta bisa menciutkan amarahku, menenggalamkannya dalam satu kata maaf
singkat yang memperbaiki keadaan, memaklumi kesalahanmu.
Bagaimana
hidupmu tanpa aku?
Pertanyaan
ketigaku mulai terdengar tak masuk akal ya? Tapi dengan begitu saja alunan
suaramu menggema mengisi seluruh pendengaranku. Suaramu ketika bicara, suaramu
ketika marah, suaramu ketika tertawa... suaramu yang sangat aku suka. Ku habiskan
begitu banyak waktu untuk menjadi pendengar setiamu, bahkan hanya sebuah tarikan
nafas kesalmu saja di hargai mahal oleh telingaku. Celotehmu yang penuh
semangat menceritakan rencana-rencana masa depan, lelucon-lelucon renyahmu yang
mengocok perut, atau hardikkan marahmu yang menakutkan. Tak terasa semuanya
sekarang hanya tinggal alarm palsu dalam ingatan...
Apa
dia mampu mencintaimu sebanyak aku?
Pertanyaan
kali ini pasti mulai membuatmu geleng-geleng kepala. Tapi... jangan pergi dulu,
tetap disana dan dengarkan seluruh pertanyaanku sampai selesai. Setidaknya dengarkan
saja, walau tidak menjawabnya. Aku tahu menjawab iya hanya akan melukaiku lebih
dalam, tapi menjawab tidak sama saja membuatku mengharapkanmu lebih banyak. Tidak
apa. Lebih baik tak usah perdulikan perasaanku, aku sudah bisa mengurusnya
sendiri. Aku tidak menggenggam tanganmu karena takut kehilangan melainkan
sebagai bukti bahwa aku membutuhkan kehadiranmu. Aku ingin dirimu selalu dalam
jangkauan pandangku bukan karena aku si pencemburu, aku hanya ingin terus dan
terus memerhatikanmu tanpa lagi perduli dengan perputaran dunia. Ya, aku
mencintaimu sebanyak itu. Apa dia juga begitu? Atau lebih baik dariku?
Kapan
kiranya kau mengizinkan kita bertemu lagi?
Pertanyaan
ini mungkin mulai memberatkanmu, ya? Aku mulai terdengar seperti banyak
menuntut, ya? Tapi aku ingin kembali membaca gerak matamu ketika khawatir,
ketika gelisah, atau ketika terkejut bahkan ketika berbohong. Aku ingin meraba kulit halus pada telapak
tanganmu yang dengan ajaib terasa hangat pada kulitku. Aku ingin mendengar
suara langkah kakimu yang mengiringi langkahku, kadang beberapa langkah di
belakang, kadang begitu tergesa-gesa di depanku.
Akankah
kau menjawab pertanyaanku?
Bisakah
setidaknya kau enyahkan kesunyian ini meski hanya di dalam mimpi? Aku sudah
muak! Aku nyaris gila karena terlalu lama berteman dengan kesepian pasca kau
tinggalkan. Setidaknya izinkan bayangmu seutuhnya hidup dalam mimpiku, bukan
sekedar wujud setengah tak bernyawa yang mati suara. Bersikap adil lah... hukum
aku di dunia nyata, tapi manjakan aku dalam mimpi. Aku tidak apa-apa... mungkin
terdengar gila tapi aku benar-benar baik-baik saja. Aku lelah berhalusinasi
mendengar suaramu, lelah menerka-nerka bagaimana keadaanmu, lelah menghitung
mundur berulang kali waktu saat kau memuaskan pertanyaanku dengan jawabanmu.
Singkat
saja... katakan 'kau merindukanku' agar aku tinggal dalam lubang yang sama yang
kau tinggalkan. Atau... katakan 'jangan ganggu aku' lagi agar aku tahu diri dan
berlari pergi. Karena selama tak ada jawab apa-apa darimu selama itulah aku
berharap, selama itulah aku bertanya-tanya.... meski hanya sanggup ku lampiaskan pada sesosok bayangmu dalam benak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar