Waktu mempermainkan ku lagi. Kenyataan menundukkanku
lagi. Dunia mengalahkanku lagi. Aku tersudut kalah dan tak berkawan. Menyaksikan
bahagiamu yang lagi dan lagi tak jadi milikku. Lagi dan lagi aku tertinggal
bersama luka yang berdarah-darah. Segenap hati yang aku berikan tak cukup
rupanya, bahkan setelah ditambahkan sebongkah cinta yang tak terbagi dua
apalagi tiga.
Berkali-kali kalah tapi aku tak juga
patah. Berkali-kali berdarah tapi belum juga mati. Seolah dunia ingin
menyakitiku berkali-kali. Seolah-olah takdir ingin menghukumku lagi dan lagi. Menyalahkanmu
tak ada guna, menyalahkan dunia hanya membuatku lebih berdosa. Tapi aku bisa
apa?! Aku ingin berteriak dan menyatakan kekecewaan yang bertumpuk dalam dada. Belum
lagi rasa sakit yang tak berujung yang selama ini ku simpan sendirian saja.
Aku ingin sekali saja merasa menang. Tak
perlu kemenangan besar, cukup satu kemenangan sederhana, seperti lewat sejenak
dalam pikiranmu yang sibuk atau tersenyum sekali tanpa ada luka yang
ditutup-tutupi. Aku tak ingin kemenangan lain selain rasa bebas tanpa kebas,
rasa utuh tanpa perlu takut merasa runtuh.
Bagaimana caranya meminta keadilan pada
dunia sedang dunia tak bermata, berhidung, juga bertelinga? Ia tak akan
mendengarku atau membalas tatapku. Aku ingin mengertikannya, memahaminya agar
tak lagi dan lagi menyalahkannya. Agar aku paham aku pantas kalah, agar aku
rendah diri dan mengerti alasan mengapa tersakiti.
Kuasa waktu dan paduan takdir
memenjarakanku lagi pada titik ini. Titik dimana tak ada kamu dan aku yang
berproses menjadi kita. Titik dimana keadaan mengarah pada aku yang terluka dan
kau tetap bahagia. Apakah harus selalu seperti itu bagiannya? Satu orang
terluka agar satu yang lain bisa bahagia? Seperti mempersilakan seseorang
menjejak surge sementara kita kian dekat pada neraka.
Dunia entah sampai kapan ia akan
menyerang, tak perduli aku yang berkali-kali mengerang. Engkau entah sampai
kapan kau akan menjadi tuli dan buta, tak perduli aku yang menghujamimu dengan
segenap cinta. Rindu yang ku tutup dengan lapisan batu mengeras membentuk
sebongkah kesombongan bernama setia. Entah setiap atau bodoh tepatnya, tapi ia
menyatakan bersedia bahagia dalam luka. Dan lagi-lagi aku menyadari.. aku
berputar pada babak lain kekalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar