Sabtu, 18 Februari 2017

Love Notes

Waktu mempermainkan ku lagi. Kenyataan menundukkanku lagi. Dunia mengalahkanku lagi. Aku tersudut kalah dan tak berkawan. Menyaksikan bahagiamu yang lagi dan lagi tak jadi milikku. Lagi dan lagi aku tertinggal bersama luka yang berdarah-darah. Segenap hati yang aku berikan tak cukup rupanya, bahkan setelah ditambahkan sebongkah cinta yang tak terbagi dua apalagi tiga.
Berkali-kali kalah tapi aku tak juga patah. Berkali-kali berdarah tapi belum juga mati. Seolah dunia ingin menyakitiku berkali-kali. Seolah-olah takdir ingin menghukumku lagi dan lagi. Menyalahkanmu tak ada guna, menyalahkan dunia hanya membuatku lebih berdosa. Tapi aku bisa apa?! Aku ingin berteriak dan menyatakan kekecewaan yang bertumpuk dalam dada. Belum lagi rasa sakit yang tak berujung yang selama ini ku simpan sendirian saja.
Aku ingin sekali saja merasa menang. Tak perlu kemenangan besar, cukup satu kemenangan sederhana, seperti lewat sejenak dalam pikiranmu yang sibuk atau tersenyum sekali tanpa ada luka yang ditutup-tutupi. Aku tak ingin kemenangan lain selain rasa bebas tanpa kebas, rasa utuh tanpa perlu takut merasa runtuh.
Bagaimana caranya meminta keadilan pada dunia sedang dunia tak bermata, berhidung, juga bertelinga? Ia tak akan mendengarku atau membalas tatapku. Aku ingin mengertikannya, memahaminya agar tak lagi dan lagi menyalahkannya. Agar aku paham aku pantas kalah, agar aku rendah diri dan mengerti alasan mengapa tersakiti.
Kuasa waktu dan paduan takdir memenjarakanku lagi pada titik ini. Titik dimana tak ada kamu dan aku yang berproses menjadi kita. Titik dimana keadaan mengarah pada aku yang terluka dan kau tetap bahagia. Apakah harus selalu seperti itu bagiannya? Satu orang terluka agar satu yang lain bisa bahagia? Seperti mempersilakan seseorang menjejak surge sementara kita kian dekat pada neraka.
Dunia entah sampai kapan ia akan menyerang, tak perduli aku yang berkali-kali mengerang. Engkau entah sampai kapan kau akan menjadi tuli dan buta, tak perduli aku yang menghujamimu dengan segenap cinta. Rindu yang ku tutup dengan lapisan batu mengeras membentuk sebongkah kesombongan bernama setia. Entah setiap atau bodoh tepatnya, tapi ia menyatakan bersedia bahagia dalam luka. Dan lagi-lagi aku menyadari.. aku berputar pada babak lain kekalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar