Jumat, 26 Juli 2013

Sparkling Taylor #12



Yaaah, maaf ini terlalu lama... tapi hari ini chapter dua belasnya di posting kok.

Alhamdulillah setelah kelar semua urusan SP dan tinggal bersiap untuk pulang ide untuk kembali ngelanjutin FF ini dateng seperti anugerah. FYI udah sebulanan ini otak gue kosong melompong tanpa ide, tapi tadi sore selain ide FF Taylor chapter 12 ini ada ide lain yang bisa jadi next project. Bismillah, Isnyaallah.

Oke, jadi ini lanjutan dari chapter yang kemarin. Disini masih bermain dengan perasaan galaunya Tay sama Joe. Tapi disini peran lain udah masuk yaaa, 'another Tay' alias Taylor Lautner masuk di chapter ini dan insyaallah chapter-chapter selanjutnya.

Yak! Dari awal saya memang memasangkan Taylor dengan Taylor sebenernya. Go Duo Taylor! Gitu aja.

Oke, enjoy reading sparkler (?) love you :**

 - - -


CHAPTER 12

“Maaf....” gumamku sepanjang jalan menuju kampus. Berkali-kali aku berusaha untuk mengatakan itu dengan nada setulus mungkin namun tetap saja terdengar janggal.



“Apa susahnya berkata maaf? Pejamkan matamu, Taylor, tarik nafas dan hembuskan perlahan.” Lalu.... “maaf....” ulangku lagi namun tetap saja terdengar ada yang kurang.

“Maaf....” suara itu terdengar tulus, sangat lembut dan menyetuh. Sempurna. Tapi, itu bukan suaraku! Jadi siapa yang mengucapkannya?

Ketika aku membuka mata, aku mendapati Joe sudah berdiri di hadapanku.

“Joe?”

“Maaf....” ucapnya lagi masih dengan penghayatan yang sama.

“Apa yang kau lakukan?”

“Meminta maaf. Apa aku dimaafkan?”

Aku tersenyum bahagia. “Tentu saja.” Jawabku spontan.

“Terima kasih, Taylor. Kau baik sekali... dan kau sangat cantik hari ini.”

“Trims.” Gumamku pelan.

Ia tampak jadi seratus kali lebih bersemangat setelah mendengar aku memaafkannya, padahal tadinya aku berpikir bahwa aku yang harus meminta maaf lebih dulu. Memang biasanya kan begitu.

“Joe, aku punya sesuatu....”

“Ya. Aku juga punya sesuatu yang harus dikerjakan.” Potongnya. “Aku akan menemuimu lagi nanti. Bye....”

“Joe....” cegahku. Tapi terlambat karena Joe sudah berlalu meninggalkanku dengan cepat. “Aku ingin kau lihat ini....” lanjutku sambil mengeluarkan selembar kertas dengan tulisan “JAYLOR” memenuhi setiap garisnya.

“Maaf....” terdengar kata itu lagi tapi kali ini dari balik punggungku.

Aku segera berbalik. “Ya?” dan... oh, aku terkesiap! Siapa orang ini? Badannya besar dan kulitnya coklat. Dia tampak asing di kampus ini.



“Maaf, permisi.” Ucapnya lagi. “Kau menghalangi jalan, Nona.”



“Oh, iya.” Aku buru-buru menyingkir. “Silahkan.”



“Terima kasih.” Ucapnya sambil tersenyum dan melintas di depanku.



Wajahnya asing sekali. Mungkin aku memang belum pernah melihatnya, atau mungkin aku jarang memperhatikan sekitar. Tidak mungkin dia anak baru kan? Tentu saja bukan, terakhir kali ada anak baru itu kan....



“Taylor?” gumamku bertanya pada diri sendiri.



Aku melangkah cepat−berlari lebih tepatnya. Tujuanku adalah mengejar orang tadi. Kenapa harus mengejarnya? Aku juga tidak tahu.

 



 Tapi sialnya, bukan bertemu orang tadi, aku malah bertemu dengan Abigail.



“Sedang terburu-buru?”



“Ya.” Aku hendak berlari lagi ketika ingat sesuatu. “Can you help me?”



As always, Taylor.”



“Apa anak baru itu berkulit hitam, tinggi dan badannya sedikit berotot−well, sangat berotot sebenarnya?”



“Kau berkenalan dengannya?” mata Abigail membulat. “Kau hebat!”



“Jadi itu anak barunya?” pikirku dalam hati. Tentu dia menarik perhatian seluruh kampus. Kulit hitam. Aku pikir dia lebih tampan dari Joe karena dia berkulit putih juga. Kalau dia berkulit hitam, dia tidak bisa disandingkan dengan Joe kalau begitu.



Tapi, ehm, dia manis juga. Dan tampaknya, dia laki-laki yang tulus....



“Tay?” Abby menggoncang-goncang punggungku, menyadarkanku dari lamunanku sendiri. “Kau beneran berkenalan dengannya ya? Beruntung sekali....” Abigail tampak tidak sabaran.



“Eh, bukan-bukan. Aku hanya bertemu, tidak sampai berkenalan.”



"Yaaaah, sayang sekali kalau begitu. Padahal aku baru saja ingin bertanya seperti apa rasanya berjabat tangan dengan laki-laki berotot super macho seperti itu.” Abigail tertawa, larut dalam euforianya sendiri.



Sedetik kemudian bayangan Joe muncul lagi dalam benakku dan membuatku kembali bersedih. Bukan bersedih karena apa-apa, aku bersedih karena sadar aku kehilangan banyak waktuku untuk diri sendiri dan lingkunganku karena terlalu sering memikirkannya. Setiap hariku dan Joe selalu dipenuhi dengan masalah yang membuatku tidak sempat lagi memikirkannya yang lain selain dia. Untung Abby orangnya sangat cuek dan sedikit tidak tahu diri, jadi dia tidak meninggalkanku meski aku nyaris seperti orang bodoh sekarang.



Yang aku lakukan hanya mematut diri, berusaha menjadi lebih baik, berusaha terlihat menawan berharap dengan begitu Joe akan lebih melihatku. Tapi nyatanya dia memang melihatku sejak dulu tapi tetap sebagai orang yang sama.



Dan kemudian aku sadar... jika ini semua diteruskan aku bisa saja kehilangan diriku seutuhnya. Aku menatap Abby yang sedang sibuk dengan urusannya sendiri, memerhatikan caranya tersenyum, tertawa hingga matanya menyiput, menggerakkan kepalanya... benar hidup harus seperti itu, sebebas itu. Andaikan belenguku bisa aku lepaskan....



“Joe... aku mencintaimu. Sangat....” pekikku perih dalam hati.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar