Sparkling Taylor #12
Yaaah, maaf ini terlalu lama... tapi hari ini chapter dua belasnya di posting kok.
Alhamdulillah setelah kelar semua urusan SP dan tinggal bersiap untuk pulang ide untuk kembali ngelanjutin FF ini dateng seperti anugerah. FYI udah sebulanan ini otak gue kosong melompong tanpa ide, tapi tadi sore selain ide FF Taylor chapter 12 ini ada ide lain yang bisa jadi next project. Bismillah, Isnyaallah.
Oke, jadi ini lanjutan dari chapter yang kemarin. Disini masih bermain dengan perasaan galaunya Tay sama Joe. Tapi disini peran lain udah masuk yaaa, 'another Tay' alias Taylor Lautner masuk di chapter ini dan insyaallah chapter-chapter selanjutnya.
Yak! Dari awal saya memang memasangkan Taylor dengan Taylor sebenernya. Go Duo Taylor! Gitu aja.
Oke, enjoy reading sparkler (?) love you :**
- - -
CHAPTER 12
“Maaf....” gumamku sepanjang
jalan menuju kampus. Berkali-kali aku berusaha untuk mengatakan itu dengan nada
setulus mungkin namun tetap saja terdengar janggal.
“Apa susahnya berkata maaf? Pejamkan matamu, Taylor, tarik nafas dan
hembuskan perlahan.” Lalu.... “maaf....” ulangku lagi namun tetap saja terdengar ada yang
kurang.
“Maaf....” suara itu terdengar
tulus, sangat lembut dan menyetuh. Sempurna. Tapi, itu bukan suaraku! Jadi
siapa yang mengucapkannya?
Ketika aku membuka mata, aku
mendapati Joe sudah berdiri di hadapanku.
“Joe?”
“Maaf....” ucapnya lagi masih
dengan penghayatan yang sama.
“Apa yang kau lakukan?”
“Meminta maaf. Apa aku dimaafkan?”
Aku tersenyum bahagia. “Tentu
saja.” Jawabku spontan.
“Terima kasih, Taylor. Kau baik
sekali... dan kau sangat cantik hari ini.”
“Trims.” Gumamku pelan.
Ia tampak jadi seratus kali
lebih bersemangat setelah mendengar aku memaafkannya, padahal tadinya aku
berpikir bahwa aku yang harus meminta maaf lebih dulu. Memang biasanya kan
begitu.
“Joe, aku punya sesuatu....”
“Ya. Aku juga punya sesuatu
yang harus dikerjakan.” Potongnya. “Aku akan menemuimu lagi nanti. Bye....”
“Joe....” cegahku. Tapi
terlambat karena Joe sudah berlalu meninggalkanku dengan cepat. “Aku ingin kau
lihat ini....” lanjutku sambil mengeluarkan selembar kertas dengan tulisan
“JAYLOR” memenuhi setiap garisnya.
“Maaf....” terdengar kata itu
lagi tapi kali ini dari balik punggungku.
Aku segera berbalik. “Ya?” dan...
oh, aku terkesiap! Siapa orang ini? Badannya besar dan kulitnya coklat. Dia
tampak asing di kampus ini.
“Maaf, permisi.” Ucapnya lagi.
“Kau menghalangi jalan, Nona.”
“Oh, iya.” Aku buru-buru
menyingkir. “Silahkan.”
“Terima kasih.” Ucapnya sambil
tersenyum dan melintas di depanku.
Wajahnya asing sekali. Mungkin
aku memang belum pernah melihatnya, atau mungkin aku jarang memperhatikan
sekitar. Tidak mungkin dia anak baru kan? Tentu saja bukan, terakhir kali ada
anak baru itu kan....
“Taylor?” gumamku bertanya pada
diri sendiri.
Aku melangkah cepat−berlari
lebih tepatnya. Tujuanku adalah mengejar orang tadi. Kenapa harus mengejarnya?
Aku juga tidak tahu.
Tapi sialnya, bukan bertemu orang tadi, aku
malah bertemu dengan Abigail.
“Sedang terburu-buru?”
“Ya.” Aku hendak berlari lagi
ketika ingat sesuatu. “Can you help me?”
“As always, Taylor.”
“Apa anak baru itu berkulit
hitam, tinggi dan badannya sedikit berotot−well,
sangat berotot sebenarnya?”
“Kau berkenalan dengannya?”
mata Abigail membulat. “Kau hebat!”
“Jadi itu anak barunya?” pikirku dalam hati. Tentu dia menarik perhatian seluruh
kampus. Kulit hitam. Aku pikir dia lebih tampan dari Joe karena dia berkulit
putih juga. Kalau dia berkulit hitam, dia tidak bisa disandingkan dengan Joe kalau
begitu.
Tapi, ehm, dia manis juga. Dan
tampaknya, dia laki-laki yang tulus....
“Tay?” Abby menggoncang-goncang
punggungku, menyadarkanku dari lamunanku sendiri. “Kau beneran berkenalan
dengannya ya? Beruntung sekali....” Abigail tampak tidak sabaran.
“Eh, bukan-bukan. Aku hanya
bertemu, tidak sampai berkenalan.”
"Yaaaah, sayang sekali kalau begitu. Padahal aku baru saja ingin bertanya seperti apa rasanya berjabat tangan dengan laki-laki berotot super macho seperti itu.” Abigail tertawa,
larut dalam euforianya sendiri.
Sedetik kemudian bayangan Joe
muncul lagi dalam benakku dan membuatku kembali bersedih. Bukan bersedih karena
apa-apa, aku bersedih karena sadar aku kehilangan banyak waktuku untuk diri
sendiri dan lingkunganku karena terlalu sering memikirkannya. Setiap hariku dan
Joe selalu dipenuhi dengan masalah yang membuatku tidak sempat lagi memikirkannya
yang lain selain dia. Untung Abby orangnya sangat cuek dan sedikit tidak tahu
diri, jadi dia tidak meninggalkanku meski aku nyaris seperti orang bodoh
sekarang.
Yang aku lakukan hanya mematut
diri, berusaha menjadi lebih baik, berusaha terlihat menawan berharap dengan
begitu Joe akan lebih melihatku. Tapi nyatanya dia memang melihatku sejak dulu
tapi tetap sebagai orang yang sama.
Dan kemudian aku sadar... jika
ini semua diteruskan aku bisa saja kehilangan diriku seutuhnya. Aku menatap
Abby yang sedang sibuk dengan urusannya sendiri, memerhatikan caranya
tersenyum, tertawa hingga matanya menyiput, menggerakkan kepalanya... benar
hidup harus seperti itu, sebebas itu. Andaikan belenguku bisa aku lepaskan....
“Joe... aku mencintaimu. Sangat....” pekikku perih dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar