Sabtu, 31 Desember 2016

Love Notes







Ketika jarak mengantarkanku pada babak baru dari mencinta,
merindu adalah kebiasaan yang sampai saat ini belum mampu aku kuasai.
Rindu tanpa temu, atau bahkan akan tetap terasa seperti ini ketika bersama?


Nofita Chandra


 


Kakiku meninggalkan jejak pada pasir putih itu ketika beranjak. Seperti dirimu yang meninggalkan rindu untuk ku habiskan seorang diri. Begini ya, rasanya bertemu untuk kemudian berpisah kembali? Tapi apa yang perlu ditakuti ketika perpisahan adalah suatu hal yang pasti. Yang hidup pasti mati. Yang mencinta pasti berduka. Karena tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak memiliki dua sisi. Ada cinta dan benci. Ada hitam dan putih. Ada sedih dan bahagia. Ada tawa dan air mata.


Dan kali ini aku menyelipkan namamu diantara do’a-do’a pengantar tidurku. Berharap akan ada kamu yang aku temui di dalam mimpi menjelang subuh nanti. Agar tetap kuat gambaran wajah itu aku ingat. Agar tetap dekat rasanya hati itu aku dekap.


Dan bayangmu menjelma menjadi kerinduan-kerinduan lain yang menyesakkan dada. Rindu akan kebersamaan denganmu buan salah satunya. Aku lebih rindu saat dimana mataku bisa menatap punggungmu, memerhatikanmu yang sedang asyik bercengkrama. Aku lebih rindu saat diam-diam telingaku mencuri dengar percakapanmu yang asyik dengan mereka. Aku lebih rindu hal-hal tidak masuk akal seperti itu.


Dan ketika kerinduan itu terus tumbuh dan besar tanpa berujung temu. Hati adalah satu-satunya yang paling tahu seberapa banyak sudah aku menyebutkan namamu, dalam diamku, dalam lamunanku. Dan aku tidak perduli apa kau juga merindukanku atau tidak. Dan aku tidak percaya ketika fakta seolah bicara bahwa tak pernah sekali pun terbesit aku dalam benakmu. Karena sungguh, hampir setiap inchi dari kota ini berada dalam kuasamu. Aku mengingatmu lewat aspal hitam yang pernah beberapa kali kita lalui. Aku mengingatmu lewat gerimis hujan yang turun kemudian kau katai.


Dan kerinduan macam ini mengingatkanku pada kenyataan tentang jarak yang membentang lebar diantara kita. Jarak yang menciptakan jeda, melahirkan rindu, membiasakan do’a. Dan tak pernah sekali pun terpikir olehku untuk secara sengaja mengingatmu, rindu itu membuatmu bisa tiba-tiba datang kapan saja, dalam wujud apa saja. Dalam semilir suara, dalam selaksa tatapan mata. Dan kemudian aku lagi-lagi dibuat menjadi tidak berdaya.


Aku mencatat rindu pada senja yang memerah di hadapan mata. Pada kesendirian dalam kebisingan yang aku lewatkan dimuka hari. Namamu menjadi satu dari sekian banyak hal kecil yang aku ingat yang menemaniku menghabiskan segelas kopi diatas meja. Suaramu menjadi satu dari sekian banyak suara yang aku dengar dalam benak, bersamaan dengan senandung sumbang nyanyian angin dikala hujan. Ketika jarak mengantarkanku pada babak baru dari mencinta, merindu adalah kebiasaan yang sampai saat ini belum mampu aku kuasai. Rindu tanpa temu, atau bahkan akan tetap seperti ini ketika bersama?


 


Bandar Lampung, 28 Desember 2016


16.31 pm


Nofita Chandra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar