Love Notes
Ketika jarak mengantarkanku pada babak
baru dari mencinta,
merindu adalah kebiasaan yang sampai saat ini belum mampu aku kuasai.
Rindu tanpa temu, atau bahkan akan tetap terasa seperti ini ketika bersama?
Nofita
Chandra
Kakiku meninggalkan jejak pada pasir putih itu
ketika beranjak. Seperti dirimu yang meninggalkan rindu untuk ku habiskan
seorang diri. Begini ya, rasanya bertemu untuk kemudian berpisah kembali? Tapi apa
yang perlu ditakuti ketika perpisahan adalah suatu hal yang pasti. Yang hidup
pasti mati. Yang mencinta pasti berduka. Karena tidak ada satu hal pun di dunia
ini yang tidak memiliki dua sisi. Ada cinta dan benci. Ada hitam dan putih. Ada
sedih dan bahagia. Ada tawa dan air mata.
Dan kali ini aku menyelipkan namamu diantara do’a-do’a
pengantar tidurku. Berharap akan ada kamu yang aku temui di dalam mimpi
menjelang subuh nanti. Agar tetap kuat gambaran wajah itu aku ingat. Agar tetap
dekat rasanya hati itu aku dekap.
Dan bayangmu menjelma menjadi kerinduan-kerinduan
lain yang menyesakkan dada. Rindu akan kebersamaan denganmu buan salah satunya.
Aku lebih rindu saat dimana mataku bisa menatap punggungmu, memerhatikanmu yang
sedang asyik bercengkrama. Aku lebih rindu saat diam-diam telingaku mencuri
dengar percakapanmu yang asyik dengan mereka. Aku lebih rindu hal-hal tidak
masuk akal seperti itu.
Dan ketika kerinduan itu terus tumbuh dan besar
tanpa berujung temu. Hati adalah satu-satunya yang paling tahu seberapa banyak
sudah aku menyebutkan namamu, dalam diamku, dalam lamunanku. Dan aku tidak
perduli apa kau juga merindukanku atau tidak. Dan aku tidak percaya ketika
fakta seolah bicara bahwa tak pernah sekali pun terbesit aku dalam benakmu. Karena
sungguh, hampir setiap inchi dari kota ini berada dalam kuasamu. Aku mengingatmu
lewat aspal hitam yang pernah beberapa kali kita lalui. Aku mengingatmu lewat
gerimis hujan yang turun kemudian kau katai.
Dan kerinduan macam ini mengingatkanku pada
kenyataan tentang jarak yang membentang lebar diantara kita. Jarak yang
menciptakan jeda, melahirkan rindu, membiasakan do’a. Dan tak pernah sekali pun
terpikir olehku untuk secara sengaja mengingatmu, rindu itu membuatmu bisa tiba-tiba
datang kapan saja, dalam wujud apa saja. Dalam semilir suara, dalam selaksa
tatapan mata. Dan kemudian aku lagi-lagi dibuat menjadi tidak berdaya.
Aku mencatat rindu pada senja yang memerah di
hadapan mata. Pada kesendirian dalam kebisingan yang aku lewatkan dimuka hari. Namamu
menjadi satu dari sekian banyak hal kecil yang aku ingat yang menemaniku
menghabiskan segelas kopi diatas meja. Suaramu menjadi satu dari sekian banyak
suara yang aku dengar dalam benak, bersamaan dengan senandung sumbang nyanyian
angin dikala hujan. Ketika jarak mengantarkanku pada babak baru dari mencinta, merindu
adalah kebiasaan yang sampai saat ini belum mampu aku kuasai. Rindu tanpa temu,
atau bahkan akan tetap seperti ini ketika bersama?
Bandar Lampung, 28 Desember 2016
16.31 pm
Nofita Chandra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar