Kamis, 24 Juli 2014

[FLASH FICTION] Bukan Friendzone Biasa



Aku rindu masa-masa kecil yang kita miliki dulu. Terleboh kepolosan dan perasaan tak berdosaku saat menjahilimu, mengejek, dan membuatmu marah bahkan menangis. Aku rindu bisa menggenggam erat tanganmu seperti dulu, tanpa perlu merasa kikuk dan malu.


Aku tidak tahu kapan tepatnya aku menyukaimu, yang aku tahu kini persahabatan yang kita pelihara sejak kecil tidak lagi semurni ketika kita mengawalinya, setidaknya menurutku.


“Hana!” panggil cowok berbadan tinggi-besar yang sekarang sedang memakai kacamata hitam. Ia melambai-lambaikan tangannya, memanggilku.


Aku buru-buru sadar dari lamunanku dan bergegas menghampirinya.


“Panas-panas gini, bengong ditengah jalan, gak takut ketabrak mobil apa?” dia bersuara seperti ck ck ck. Dengan satu gerakan luwes, tangannya menarik tanganku. Kami sekarang bergandengan. “Ayo, buru!” ia sedikit menarikku supaya tetap berjalan mengikutinya.


= = =


“Gak bisa, Dev...” aku uring-uringan didalam kamar. “Gue sama dia itu udah temenan dari kecil, orang tua kita saling kenal. Jatohnya, udah kayak sodaraan.”


“Apa yang gak bisa didunia ini sih, Han? Semua yang gak mungkin itu mungkin...”


“Tapi, Dev... ini kita lagi ngomongin Erik loh.”


Iya, Erik. Tetangga dan teman sejati dari aku dan dia masih sama-sama bayi sampai kemudian smp. Erik dan keluarganya kemudian pindah karena ayahnya dipindah tugaskan, dan tiga tahun kemudian kembali lagi dan satu sekolah denganku dan Devi. Begitu kembali, pertemanan kami yang sempat terputus kembali terjalin.


Tapi Erik yang sekarang super ganteng dan kece sedikit-atau mungkin banyak, membuat aku keteteran mengurus perasaanku sendiri. Pasalnya, Erik masih memperlakukanku sebagai sahabat kecilnya. Itu artinya dia masih melakukan hal-hal yang biasa kami lakukan dulu, seperti menggandeng tanganku, mengacak-acak rambutku, bersandar dipundakku, mencubiti pipiku... Dampaknya, aku jadi kelimpungan karena pesonanya.


“Lo harus ngomong, Han, dari pada begini terus.. sama aja lo ngebohongin dia.”


“Tapi kalo gue kehilangan dia gimana, Dev?”


Devi diam. Tidak ada yang tahu jawabannya, baik dia atau aku.


= = =


Satu bulan sudah sejak aku uring-uringan waktu itu, dan berdasarkan saran Devi aku sekarang menjaga jarakku dengan Erik. Sebisa mungkin aku tidak ingin berdua saja dengannya, juga tidak mau berlama-lama menghabiskan waktu bersamanya. Tapi kayaknya Erik mulai curiga dengan tingkahku yang menarik diri darinya.


“Han, lo kenapa sih, akhir-akhir ini gak seru banget?” protesnya. “Setiap diajakin nonton, makan, ngerjain tugas bareng, nemenin gue jogging, jawabannya pasti sama. ‘Gak deh, gue ada kerjaan’, kalo mau bohong yang profesional kek.”


Aku diam.


“Han? Gue lagi ngomong.”


“Iya, gue dengerin.”


“Ya, terus?”


“Terus apaan? Emangnya gue tukang parkir, suruh terus-terus?


Erik bersedekap kesal, memalingkan wajahnya dariku. “Lo pasti lagi nyembunyiin sesuatu? Ya kan? Ngaku deh!”


“Gak ada. Apaan sih, Rik, kepo banget deh. Udah ah, gue mau nyari Devi. Bye.”


= = =


Bener juga kata, Devi. Aku gak bisa selama-lama menghindar dari Erik begini, ujung-ujungnya aku jadi merasa bersalah seperti sekarang. Mau tidak mau, pilihan yang harus aku ambil memang adalah berbicara jujur.


Erik pasti kaget begitu mendengarnya. Tapi bukan kagetnya yang aku tunggu-tunggu, tapi reaksinya setelah sembuh dari terkejut dan meresapi betul-betul pengakuan yang aku buat. Apa dia akan segera pergi dan gak mau berteman denganku lagi? Dia pasti berpikir aku gila.


“Erik, gue mau ngomong.”


“Ngomong aja, gak bayar kok.” Jawabnya ketus.


Aku memikirkan beberapa kalimat sebagai opsi dalam otakku, tapi aku rasa semuanya terlalu panjang. Dan akhirnya aku memilih, “Erik, gue suka sama lo. Ini memang gila, tapi kenyataannya gitu.” Aku langsung menghela nafas panjang dan menundukkan kepala.


Erik tidak bereaksi apa-apa. Aku mulai khawatir jangan-jangan dia sudah kabur karena benar-benar menganggapku gila.


Aku mendongak. Syukurlah, dia masih duduk di sebelahku.


“Rik, gue barusan ngom...”


“Iya, gue denger. “ jawabnya memotong kalimatku.


Dia menoleh kearahku. Tatapan matanya... tidak bisa aku artikan. Aku berusaha menunduk, menyembunyikan wajah, tapi dia buru-buru menyipitkan matanya, membuatku mengurungkan niat.


“Han...” suaranya penuh misteri.


Aku tidak menyahut.


“Gue pikir cuma gue doang yang ngerasa gitu. Ternyata lo juga ya?”


Aku menatapnya, terpana dan tidak percaya. “Maksud lo, Rik? Tanyaku dengan suara dipenuhi keraguan.


“Iya, waktu gue balik kesini dan ketemu lo, gue langsung suka. Abisnya lo sekarang cantik, gak ireng, jorok, ingusan kayak dulu lagi. Sebenernya selama ini gue temenan sama lo cuma modus aja biar bisa deket.” Erik nyengir. “Gue pikir lo kemarin ngejauhin gue karena sadar gue modusin, karena gak suka sama gue.”


Langsung rasanya aku ingin meninju mukanya yang sedang tersenyum lebar menatapku sekarang.


“Oh, jadi gitu caranya ngedeketin cewek? Jadi gitu caranya nge-treat temen lama yang baru ketemu lagi? Bagus, bagus, lanjutin aja.”


“Hehe.. ampun bos! Kalo gak gitu, kita cuma bisa jadi temen aja. Kan gue maunya lebih.”


Aku tidak bisa untuk tidak menahan hasratku untuk menghadiahkan tinju padanya. Akhirnya, aku hadiahi Erik dengan satu bogem mentah dilengan kirinya. “Hadiah jadian.” Ucapku sambil tertawa bahagia.


Ia mengerang kesakitan tapi kemudian ikut tertawa bersamaku juga.

1 komentar: