[FLASH FICTION] Bukan Friendzone Biasa
Aku
rindu masa-masa kecil yang kita miliki dulu. Terleboh kepolosan dan perasaan
tak berdosaku saat menjahilimu, mengejek, dan membuatmu marah bahkan menangis. Aku
rindu bisa menggenggam erat tanganmu seperti dulu, tanpa perlu merasa kikuk dan
malu.
Aku tidak
tahu kapan tepatnya aku menyukaimu, yang aku tahu kini persahabatan yang kita
pelihara sejak kecil tidak lagi semurni ketika kita mengawalinya, setidaknya
menurutku.
“Hana!” panggil cowok berbadan tinggi-besar
yang sekarang sedang memakai kacamata hitam. Ia melambai-lambaikan tangannya,
memanggilku.
Aku buru-buru
sadar dari lamunanku dan bergegas menghampirinya.
“Panas-panas
gini, bengong ditengah jalan, gak takut ketabrak mobil apa?” dia bersuara
seperti ck ck ck. Dengan satu gerakan
luwes, tangannya menarik tanganku. Kami sekarang bergandengan. “Ayo, buru!” ia
sedikit menarikku supaya tetap berjalan mengikutinya.
= = =
“Gak
bisa, Dev...” aku uring-uringan didalam kamar. “Gue sama dia itu udah temenan
dari kecil, orang tua kita saling kenal. Jatohnya, udah kayak sodaraan.”
“Apa
yang gak bisa didunia ini sih, Han? Semua yang gak mungkin itu mungkin...”
“Tapi,
Dev... ini kita lagi ngomongin Erik loh.”
Iya,
Erik. Tetangga dan teman sejati dari aku dan dia masih sama-sama bayi sampai
kemudian smp. Erik dan keluarganya kemudian pindah karena ayahnya dipindah
tugaskan, dan tiga tahun kemudian kembali lagi dan satu sekolah denganku dan
Devi. Begitu kembali, pertemanan kami yang sempat terputus kembali terjalin.
Tapi
Erik yang sekarang super ganteng dan kece sedikit-atau mungkin banyak, membuat
aku keteteran mengurus perasaanku sendiri. Pasalnya, Erik masih memperlakukanku
sebagai sahabat kecilnya. Itu artinya dia masih melakukan hal-hal yang biasa
kami lakukan dulu, seperti menggandeng tanganku, mengacak-acak rambutku,
bersandar dipundakku, mencubiti pipiku... Dampaknya, aku jadi kelimpungan
karena pesonanya.
“Lo
harus ngomong, Han, dari pada begini terus.. sama aja lo ngebohongin dia.”
“Tapi
kalo gue kehilangan dia gimana, Dev?”
Devi
diam. Tidak ada yang tahu jawabannya, baik dia atau aku.
= = =
Satu
bulan sudah sejak aku uring-uringan waktu itu, dan berdasarkan saran Devi aku
sekarang menjaga jarakku dengan Erik. Sebisa mungkin aku tidak ingin berdua
saja dengannya, juga tidak mau berlama-lama menghabiskan waktu bersamanya. Tapi
kayaknya Erik mulai curiga dengan tingkahku yang menarik diri darinya.
“Han,
lo kenapa sih, akhir-akhir ini gak seru banget?” protesnya. “Setiap diajakin
nonton, makan, ngerjain tugas bareng, nemenin gue jogging, jawabannya pasti sama. ‘Gak deh, gue ada kerjaan’, kalo
mau bohong yang profesional kek.”
Aku diam.
“Han?
Gue lagi ngomong.”
“Iya,
gue dengerin.”
“Ya,
terus?”
“Terus
apaan? Emangnya gue tukang parkir, suruh terus-terus?
Erik
bersedekap kesal, memalingkan wajahnya dariku. “Lo pasti lagi nyembunyiin
sesuatu? Ya kan? Ngaku deh!”
“Gak
ada. Apaan sih, Rik, kepo banget deh. Udah ah, gue mau nyari Devi. Bye.”
= = =
Bener
juga kata, Devi. Aku gak bisa selama-lama menghindar dari Erik begini,
ujung-ujungnya aku jadi merasa bersalah seperti sekarang. Mau tidak mau,
pilihan yang harus aku ambil memang adalah berbicara jujur.
Erik
pasti kaget begitu mendengarnya. Tapi bukan kagetnya yang aku tunggu-tunggu,
tapi reaksinya setelah sembuh dari terkejut dan meresapi betul-betul pengakuan
yang aku buat. Apa dia akan segera pergi dan gak mau berteman denganku lagi? Dia
pasti berpikir aku gila.
“Erik,
gue mau ngomong.”
“Ngomong
aja, gak bayar kok.” Jawabnya ketus.
Aku memikirkan
beberapa kalimat sebagai opsi dalam otakku, tapi aku rasa semuanya terlalu
panjang. Dan akhirnya aku memilih, “Erik, gue suka sama lo. Ini memang gila,
tapi kenyataannya gitu.” Aku langsung menghela nafas panjang dan menundukkan
kepala.
Erik
tidak bereaksi apa-apa. Aku mulai khawatir jangan-jangan dia sudah kabur karena
benar-benar menganggapku gila.
Aku mendongak.
Syukurlah, dia masih duduk di sebelahku.
“Rik,
gue barusan ngom...”
“Iya,
gue denger. “ jawabnya memotong kalimatku.
Dia menoleh
kearahku. Tatapan matanya... tidak bisa aku artikan. Aku berusaha menunduk,
menyembunyikan wajah, tapi dia buru-buru menyipitkan matanya, membuatku
mengurungkan niat.
“Han...”
suaranya penuh misteri.
Aku tidak
menyahut.
“Gue
pikir cuma gue doang yang ngerasa gitu. Ternyata lo juga ya?”
Aku menatapnya,
terpana dan tidak percaya. “Maksud lo, Rik? Tanyaku dengan suara dipenuhi keraguan.
“Iya,
waktu gue balik kesini dan ketemu lo, gue langsung suka. Abisnya lo sekarang
cantik, gak ireng, jorok, ingusan
kayak dulu lagi. Sebenernya selama ini gue temenan sama lo cuma modus aja biar
bisa deket.” Erik nyengir. “Gue pikir
lo kemarin ngejauhin gue karena sadar gue modusin, karena gak suka sama gue.”
Langsung
rasanya aku ingin meninju mukanya yang sedang tersenyum lebar menatapku
sekarang.
“Oh,
jadi gitu caranya ngedeketin cewek? Jadi gitu caranya nge-treat temen lama yang baru ketemu lagi? Bagus, bagus, lanjutin aja.”
“Hehe..
ampun bos! Kalo gak gitu, kita cuma bisa jadi temen aja. Kan gue maunya lebih.”
Aku tidak
bisa untuk tidak menahan hasratku untuk menghadiahkan tinju padanya. Akhirnya,
aku hadiahi Erik dengan satu bogem mentah dilengan kirinya. “Hadiah jadian.” Ucapku
sambil tertawa bahagia.
Ia mengerang
kesakitan tapi kemudian ikut tertawa bersamaku juga.
CIYEEEE
BalasHapus