Senin, 21 Juli 2014

Miss Right Not Always Look Right

Oke, jadi demi memberdayakan otak yang ada, ketimbang nanti jadi gak kepake dan malah di jual ol*, gue memutuskan untuk nge-post apa aja ide yang lewat diotak.

Dan untuk menyemangati diri sendiri maka gue membuat poster diatas yang rencananya bakal dijadiin sebagai pict wajib diawal semua posting gue berikut-berikutnya.

Dan satu hal yang baru gue sadari soal kemampuan gue nulis, gue gak pandai memilih judul. Gue ribet nentuin judul yang pas. Masalahnya adalah, judul itu harus sedikit kata tapi kaya makna. Nah, gue bukan tipe orang yang bijak dalam mempersedikit kata--"

Jadi, kalo antara judul sama isi agak kurang sinkron, mohon dimaafin ya? Kedepannya, gue akan berguru lagi sama yang lebih pakar. Oke, lets read! Enjoy!

- - -

 

Arina memeluk lututnya, sementara kepalanya tertunduk menyembunyikan wajahnya yang sembab karena air mata.

"Daffa kelewatan banget sih! Memangnya kenapa kalo cewek tomboy jatuh cinta? Gak boleh?" Arina mengentak-entakkan kakinya ke lantai. tanah coklat dan kerikil-kerikil kecil berjatuhan dari sneakers merah-hitam favoritnya.

"Gak-gak lagi, cerita sama anak itu! Dasar Daffa mulutnya gacor! Gak bisa jaga perasaan!!!"


= = =


Arin, ketua tim basket putri sekolah, adalah sosok yang supel, ramah dan dekat dengan semua orang, tidak terkecuali Daffa, si anak baru yang menurut Arin wajahnya mirip dengan adik bungsunya. Karena sama-sama outgoing, mereka berdua jadi cepet nyambungya. Tapi siapa sangka sih, kalo dalam sebuah kesempatan Daffa bilang kalo dia suka sama Arin sejak pertama kali mereka ketemu.

Ya, adegan penembakan itu terjadi di depan kelas Arin saat pulang sekolah.

Arin yang gak pernah berhadapan dengan situasi kayak gini gak tau harus berbuat apa dan bagaimana. Dia cuma bisa berdiri diam dengan kikuk, menunduk, menghindari tatapan mata Daffa yang tajam memandanginya.

"Rin? Gak mau jawab?"

Arin bergerak-gerak gelisah kayak cacing kepanasan.

"Eh, ini mendadak banget, Daff. Gue gak tau mau jawab apa."

"Jawab aja, Rin, sesuai kata hati lo. Gue terima apa pun jawaban lo kok."

Arin meremas-remas rok sekolahnya dan mulai menggigiti bibirnya karena grogi.

"Harus sekarang?"

Baik Daffa mau pun Arin terdiam, saling menunggu untuk bersuara.

"Kasih gue waktu satu minggu buat mikirinnya, ya? Minggu depan kita ketemu lagi disini dan gue bakal kasih jawabannya. Oke? Kalo gitu, gue balik duluan. Bye, Daffa...."

Daffa hanya diam memandangi Arin yang perlahan pergi menjauh.


= = =


Gak ada alasan buat Arin gak suka sama Daffa, bahkan sejak awal dia memang sempat terpesona. Badan Daffa yang tinggi, dengan rambut hitam ikalnya. Matanya yang bulat besar berwarna coklat, juga hidungnya yang mancung. Kulitnya yang kecoklatan dan bibirnya yang tebal tapi sexy menurut Arin. Semua tentang Daffa, secara visual, memang memesona.

Itu semua ditambah dengan sifat Daffa yang mudah bergaul, humoris dan agak sangklek otaknya, membuat Arin betah lama-lama ngobrol dengannya. Tapi Arin benar-benar hanya menganggap semua ini hanya pertemanan biasa, gak ada unsur suka-sukaan atau yang lain. Karena Arin lebih suka berteman, karena Arin gak ngerti urusan cinta-cintaan. Karena Arin gak tau, kalo ternyata sejak awal Daffa juga suka sama dia.

Tapi setelah denger pengakuan Daffa kemarin, Arin jadi tertarik untuk menoleh lagi kebelakang dan melihat jejak dari kebersamaan mereka. Melihatnya dengan lebih teliti, apa benar selama ini hanya ada hubungan pertemanan diantara mereka? Atau sesuatu yang lebih tapi tersembunyi dengan titel 'teman' itu sendiri?


= = =


Daffa gak ada niat untuk ngerjain Arin, cewek yang udah dianggapnya sebagai sahabat meski mereka baru kenal gak lebih dari empat bulan. Tapi hari itu dia lagi kena sial, kalah taruhan dan harus mau nembak cewek-siapapun, kalo gak mau gadget barunya kena sita satu bulan dengan teman-temannya.

Daffa yang anak baru gak deket dengan cewek siapa pun, kecuali Arin. Tadinya Daffa pikir setelah dia bilang begitu, dia bisa ngomong jujur dan minta maaf ke Arin. Arin juga pasti gak akan menganggap ini terlalu serius. Tapi siapa sangka, besoknya sikap Arin jadi berubah total ke Daffa. Daffa jadi gak punya kesempatan buat meluruskan tindakannya itu. Alhasil, seminggu dari tenggat waktu yang diminta Arin sudah habis dan ia harus bertemu Arin lagi untuk mendengar jawabannya.

Daffa rasa, ini satu-satunya kesempatan untuk dia ngomong jujur.


= = =


"Gue ada yang mau diomongin." Daffa langsung bersuara begitu berhadapan dengan Arin.

"Gue dulu." jawab Arin. Kemudian pengakuannya mulai terkuak, mengalir seperti air tanpa ada hambatan apa pun. Dan tentu saja kedengaran benar dan tulus.

Daffa sejak tadi sudah berdiri dengan gelisah, dan jadi makin gelisah-dan sedikit tercengang, mendengar pengakuan Arin yang ternyata benar-benar menyukainya.

"Gue gak pernah suka sama orang sebelumnya, jadi gue gak bisa bedain mana yang nyaman karena temen, mana yang nyaman karena kagum. Bukan sekedar kagum sih, tapi bisa dibilang suka." ucap Arin blak-blakan.

Daffa diam, tidak bergeming meski Arin sudah menyelesaikan pengakuannya. Dia benar-benar tidak tahu harus memulai penejelasannya dari mana sekarang.

"Daffa? Kok diem?" Arin berusaha terdengar tidak gugup dan canggung.

"Eh... ya? Kenapa, Rin?" Daffa tersadar dan reaksi super bodoh seperti itu.

"Lo gak dengerin gue ya?" Arin bersedekap, ekspresi wajahnya yang biasa keluar. Jutek.

"Dengerin kok. Tapi, Rin... gue juga harus jujur. Cuma gue gak tau harus gimana ngomongnya..." Daffa menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Jadi gini, apa yang gue omongin kemarin... itu cuma becanda, Rin. Gue kalah taruhan, dan gue harus nembak cewek, siapa pun, kalo mau gadget baru gue tetep aman. Jadi..."

"Jadi itu semua bohong?" suara Arin terdengar datar. "Jadi, gadget baru lo lebih berharga ketimbang perasaan orang, Daf? Perasaan gue."

Ekspresi wajah dan nada Arin biasa saja, tapi justru hati Daffa terasa ditusuk-tusuk karena reaksinya yang biasa saja seperti itu. Daffa tahu, dia harus buru-buru minta maaf. Tapi rasanya maafnya sekarang sudah tidak ada gunanya.

"Maafin gue, Rin..." ujarnya lemah.

 

= = =

 

"Lo udah gak sama Daffa lagi, Rin?"

"Gak." jawab Arin ketus.

"Jangan ungkit-ungkit soal Daffa, Mel. Arin lagi broken heart tuh karena Daffa."

"Hah? Kenapa  memangnya?"

"Lo yang duduk sebangku sama Arin masa gak tau?" perhatian Amel langsung terfokus pada si biang gosip, Jihan. "Arin kan abis ditolak sama Daffa. Dia kira Daffa nembak dia beneran, padahal itu cuma karena taruhan. Kasian banget Arin, padahal dia udah nanggepin serius." Jihan tertawa.

Tawanya kedengeran seperti tawa kuntilanak dipendengaran Arin. Panas hatinya tidak akan reda kalau tidak dia tidak bisa membungkam mulut Jihan dengan bogem mentah-nya.

"Lagian seharusnya sih Arin sadar diri, cewek tomboy with no style dan aura-aura kewanitaan kayak dia, siapa yang bakal suka? Cowok tuh, sukanya cewek yang lembut, dandannya rapi, kayak gue."

Arin benar-benar tidak bisa menahan amarahnya.

"Diem lo!" didorongnya pundak Jihan dengan kasar. Jihan langsung melotot, tidak mau kalah dengan Arin. "Gak usah ikut campur urusan orang deh!"

"Rin, tenang, Rin..." Amel berusaha melerai.

Arin sudah bilang tidak akan tenang kalau belum mengunci rapat mulut Jihan, jadi dengan sengaja ditariknya ikat rambut yang menjaga rambut panjangnya terikat rapi dibagian belakang kepala, kemudian diacak-acaknya rambut Jihan dan langkah terakhir adalah membuang dan menginjak-injak ikat rambutnya.

"Sekali-kali lo butuh makeover." ucapnya sambil berlalu pergi.


= = =


Daffa selalu sendirian akhir-akhir ini. Arin tentu saja tidak mau menerima permintaan maafnya dan menjauhinya sejauh-jauh yang bisa dia lakukan. Teman-temannya yang lain, yang menjadi teman taruhannya, malah balik marah-marah dengan Daffa waktu dia menyalahkan mereka atas permusuhannya dengan Arin yang sudah terlanjur tercipta.

Dan yang tertinggal menemani Daffa sekarang hanyalah penyesalan.

Hari-hari di sekolah menjadi berat bagi Daffa, tapi dia tahu bahkan itu terasa lebih berat lagi buat Arin karena semakin banyak saja yang mengolok-oloknya mengenai kejadian itu.

Daffa ingin melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan, tapi dia tidak tahu harus melakukan apa.

 

= = =

 

Lapangan basket sekolah. Siang hari.

Daffa tahu dia harus segera bertindak kalau tidak mau kehilangan Arin lebih jauh lagi. Dan apa yang bakal dia lakukan tidak bisa seratus persen dibenarkan, tapi Daffa sudah kehabisan akal. Dia harus menyelamatkan Arin, paling tidak pertemanan yang baru hendak mereka bangun menjadi persahabatan.

Entah perasaan kagum, suka atau cinta yang terselip dibelakangnya kelak, yang jelas yang sekarang harus segera dibereskan.

"Arin!" teriak Daffa dari pinggi lapangan basket.

Arin yang sedang menghalangi salah satu pemain di depannya mengalihkan fokus, menoleh ke belakang, mencari-cari siapa yang barusan memanggil namanya. Begitu melihat Daffa sedang menatap kearahnya, Arin langsung melengos. Dalam hati dia sangat menyesal sudah menoleh.

"Arin!" Daffa tidak kehilangan semangat.

Kali ini Arin tidak menggubris.

Salah satu tim lawan yang hendak mengambil bola yang ada ditangan Arin tersenyum licik. "Samperin aja dulu, Rin, siapa tau dia berubah pikiran mau nerima lo sekarang."

Arin melemparkan bola ke lantai lapangan dengan sangat kuat, bola memantul ke udara dengan cepat. Tanpa mempunyai perkiraan sebelumnya, cowok yang barusan mengejek Arin tidak dapat menghindar. Bola memantul dibawah dagunya. Pasti sakit sekali, rahangnya sampai bunyi begitu. Tapi Arin tidak perduli, dia berbalik dan berjalan pergi menghampiri Daffa.

"Woy! Lo jadi cewek gak ada perasaan banget sih!" teriak si korban bola Arin. Arin tetap berjalan, tidak memedulikan teriakannya. "Pantes aja Daffa nolak lo, dasar cewek saiko! Sial lo!"

Arin tidak tahu kalau cowok itu melemparkan bola ke arahnya.

Daffa yang melihat tindakan cowok itu langsung buru-buru berlari menghampiri Arin. "Arin, awas!" teriaknya memperingati.

Arin menoleh ke belakang. Tepat saat itu seharusnya bola mengenai wajahnya, tapi Daffa sudah keburu menariknya. Melindungi kepalanya dengan lengannya, dan wajah Arin tersimpan aman dalam dekapannya.

"Rin, gak apa-apa?" tanya Daffa setelah merasa tidak akan ada lemparan susulan dari cowok itu.

Arin kehilangan setengah kewarasannya. Dia hanya sanggup menggeleng.

"Syukur deh.. em, gue ada yang mau diomongin." sambar Daffa dengan cepat sebelum Arin keburu kabur.

 

= = =

 

"Pertama-tama, gue mau minta maaf, Rin. Maaf..."

"Gak usah pake pertama-tama segala deh, udah kayak pidato." ucap Arin ketus. "Gak pake lama. Buru."

"Iya, iya. Gue minta maaf, gue tau gue salah pake banget. Gak seharusnya yang gituan dijadiin candaan. Maafin gue ya?"

"Kalo gue gak mau?"

Daffa menghembuskan nafas, mulai kehilangan semangatnya. "Rin, lo beneran suka sama gue?"

Arin kali ini diam.

"Rin? Jawab."

Arin bingung harus menjawab apa. "Menurut lo?" akhirnya, Arin memilih itu sebagai jawaban terbaiknya.

Daffa mengangkat bahunya. "Gak tau, kan gue buat Edward Cullen yang bisa baca pikiran orang."

Garing. Daffa tahu, usahanya mencairkan suasana gagal total.

Lama mereka berdua sama-sama terdiam sampai akhirnya Daffa kembali bersuara.

"Rin, bisa gak lo lanjutin aja suka sama guenya? Soalnya gue baru sadar nih, gak ada cewek yang seberantakan lo, yang secuek lo soal penampilan, yang berarti gak akan ngebuat gue nungguin lo dandan atau nemenin lo nyalon dan belanja. Terus, gak ada cewek yang se-ngakak lo kalo ketawa, makan apa aja udah kayak kotak sampah, dan hobi maen pes. Gue rasa kita bisa langgeng kalo kita beneran jadian, secara kita udah seblak-blakan ini sejak awal."

Arin tertegun mendengarkan ucapan Daffa.

"Mungkin sekarang gue suka sama lo gak sesuka lo suka sama gue, tapi seiring waktu gue pasti bisa ngimbangin kok."

"Maksud lo apa sih, Daf? Lo pikir perasaan orang candaan? Hati orang mainan, hah?!"

Daffa buru-buru menggeleng. "Gak, Rin. Gak gitu."

"Lo mesti tau, lo cowok pertama yang bikin gue mewek. Gue gak suka sama lo. Gak lagi."

"Tapi gue mulai suka sama lo, Rin."

"Sejak kapan?"

"Sejak kita musuhan. Gak ada lo sepi, Rin."

"Egois lo!"

"Iya sih, abis gimana, gue suka sama lo."

"Walau gue tomboy, gak trendy, gak manner, dan gak saiko?" Itu semua rangkuman dari cibiran orang-orang yang Arin tahu.

Daffa tergelak tertawa. "Semua orang punya style-nya sendiri. Untuk urusan manner, itu bisa kita atur nanti. Dan urusan saiko... gue rasa orang yang ngomong cuma lagi kesel aja."

"Tapi gue bisa tiba-tiba beneran saiko loh..."

"Gak apa-apa, gue yakin bisa handel."

Arin menyunggingkan senyum simpul.

"Jadi, kita maafan? Gue diterima?"

"Maafan sih oke, tapi nerima... aduh, gue pikirin dulu ya? Seminggu lagi kita ketemu disini dan gue bakal kasih jawabannya. Awas aja, pas ketemu nanti lo bilang ini candaan lagi." Arin mengancam Daffa dengan kepalan tangan kanannya.

sorce : tumblr, edited by me

 

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar